BAB 2 BERJALAN MUNDUR
Menerima
sesuatu yang tidak bisa berjalan dengan semestinya, sangatlah rumit. Namun
ternyata, waktu begitu cepat berlalu. Seperti
kata mereka yang selalu bilang ‘jalani saja dulu’, mereka tidak paham bedanya menjalani
mimpi dan berjalan sambil berharap. Banyu memiliki impian belajar sastra, namun
ia hanya memegang harapan dari orang tuanya untuk menjadi Arsitek. Lalu
mengubah mimpinya menjadi sebuah harap, ia akan berhasil dengan apa yang dia
jalani. Sesuai pesan ayahnya sebelum beliau mengembuskan napas terakhirnya,
Banyu menjalani perannya sebagai mahasiswa Arsitek semester empat.
Sambil merapihkan pakaiannya ke dalam tas
ransel berwarna hitam, pikirannya hanya tertuju pada sebuah pertanyaan, Akankah mimpinya yang lain menjadi kenyataan
?
“Cuma tiga hari aja kan, kita di Jogja ?”
tanya Banyu pada sahabatnya sejak SMP, Bima yang kini satu kampus dengannya.
Bima manarik napas lalu mengembuskan
perlahan “seandainya Kawa masih sama kita ya, dia pasti yang paling semangat.
Ide buat bikin kedai kopi juga kan dia yang memulainya.”
Saat Kawa dan Bima sudah masuk SMP di
Jogja, Banyu adalah anak pindahan dari Bandung. Ayahnya dipindahtugaskan ke
Jogja, mau tidak mau ibunya dan Banyu ikut dengan kepindahan ayahnya. Lalu
bersekolah, di sekolah yang sama dengan Kawa dan Bima.
Saat itu keluarga Kawa pun sama halnya
dengan Banyu. Ayahnya dipindahtugaskan, lalu Gery Aikawa (Kawa), Sora Aldareina
(Reina) dan ibunya turut pindah. Sementara Bima, memang penduduk asli Jogja.
Tidak membutuhkan waktu yang lama Kawa,
Bima dan Banyu menjalin persahabatan yang sangat erat. Bahkan, saat usia mereka
yang masih terbilang belum beranjak dewasa, mereka sudah memiliki impian akan
mendirikan kedai kopi di Jogja.
Persahabatan mereka tetap terjaga meski
mereka harus merelakan kepindahan Kawa, ketika tahu orang tua Kawa bercerai. Kawa
ikut dengan ayahnya ke Bali, lalu ibu dan adiknya pindah ke Bandung tempat
keluarga mereka berasal. Kelulusan SMA adalah pertemuan terakhirnya dengan
Kawa. Saat itu, Banyu dan Bima pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliahnya,
lalu tinggal di rumah keluarga Banyu yang sebelumnya di kontrakan. Sayang kalau
di kosongkan nanti malah tidak terawat, kata ibunya sewaktu ia dan keluarganya
pindah ke Jogja.
Berkali-kali ia memohon agar ia kuliah di
Jogja sambil menemani ibunya, tetapi ibunya meminta agar Banyu tetap kuliah di
Bandung. “Kamu dan Bima bisa tinggal di sebelah rumah nenek, nak. Rumah kita.
Kontrakannya sudah habis, ibu sudah minta temannya Bi Leni untuk membersihkan
rumah. Nanti dia juga yang bantu untuk beres-beres di sana. Kalau kamu ada di
sana, ibu tidak terlalu khawatir. Bi Leni sudah sering telepon ibu, nenek sudah
mulai susah makan. Siapa tahu kalau cucuknya ada di sana, nenek jadi semangat
makan” ucap ibunya saat itu.
Mendengar ucapan ibunya, Banyu tidak bisa
berkata apa-apa selain menyanggupi permintaannya. Ibunya sama seperti Banyu
anak tunggal, sehingga tidak ada saudara lain yang bisa bergantian menjaga
neneknya. Rumah neneknya yang bersebelahan dengan rumah kediaman keluarga
Banyu, membuatnya tidak kesusahan untuk menjaganya. Namun, siapa yang tahu
takdir Tuhan, sebulan setelah kepindahannya ke Bandung, sang nenek berpulang.
Saat itu ibunya datang untuk mengurus jenazah dan surat-surat yang lain. Lalu
kembali ke Jogja, karena usaha butiknya tidak bisa ditinggal lama. Sementara Bi
Leni yang dulu merawat neneknya, kini tinggal bersama Banyu sebab ia tidak
memiliki keluarga lagi, suaminya yang dulu turut bekerja dengan nenek sudah
lama meninggal sebelum mereka memiliki anak.
Sambil kuliah, Banyu dan Bima mengambil
kerja paruh waktu di kedai kopi milik seniornya bernama Romi yang lokasinya
dekat Jalan Citarum. Meski sudah tidak saling komunikasi dengan Kawa, dua
sekawan lainnya Banyu dan Bima sudah berjanji akan mengumpulkan hasil uang dari
kerja paruh waktunya untuk ditabung demi mewujudkan impiannya walau tanpa Kawa.
Awalnya mereka kesulitan untuk membagi waktu kuliah dan tugas-tugasnya dengan
bekerja dari pukul tujuh malam hingga pukul dua belas malam. Namun sebuah mimpi harus dibuat nyata, kalau tidak
!! waktu bermimpimu sudah terbuang sia-sia, ucap Bima saat ia meminta Banyu
untuk melanjutkan impian yang sudah direncanakan. Banyu merasa tergugah,
semangatnya lahir kembali, ia sudah mengikhlaskan impiannya gagal, karena
keinginan almarhum ayahnya. Maka, impiannya yang lain tidak boleh gagal.
***
“Udara Jogja malam hari memang, wangi
gudeg” ucap Bima saat ke luar dari gerbong kereta.
“Tidur terus, gimana nggak lapar” sahut
Banyu sambil berjalan mengikuti langkah kaki Bima.
“Sebelum ke rumahmu, kita mampir di nasi
gudeg langganan kita, yok!!” menepuk pundak Banyu, yang terlihat kelelahan. Ya,
wajar saja merasa lelah karena sebelumnya harus lembur kerja paruh waktu agar
uang yang didapat tidak dipotong.
“Tapi, ibu pasti sudah menyiapkan makanan
di rumah” kata Banyu dengan nada sedikit mengeluh. Sudah ada perjanjian dari
awal bahwa mereka akan menginap di kediaman ibunya Banyu, agar lebih dekat ke
lokasi yang akan mereka kunjungi esoknya.
“Nanti, kita tinggal makan lagi. Kapan
lagi Ban, kita di sini cuma tiga hari. Besok-besok kita pasti sibuk mutar-mutar
untuk cari lokasi kedai” katanya merayu dan menyambung “pakai becak!!” Bima
menunjuk becak yang sedang mangkal, di pinggir Stasiun.
Banyu hanya bisa mengikuti apa kata Bima,
tenaganya sudah habis untuk bisa menyangkal atau berdebat dengan Bima yang
sudah mengisi energinya selama perjalanan. Sementara Banyu tidak, selama
perjalanan ia hanya memikirkan ibunya yang tidak mau ikut pindah ke Bandung dan
memilih tinggal di Jogja seorang diri. Mengurus rumah yang dibeli oleh ayahnya
sembari mengurus butik dari hasil tabungan sebelum ayahnya pergi untuk
selamanya.
Tidak ada yang bisa merayu, sebab yang
ibunya miliki hanya anak sematawayangnya yang sudah kehabisan akal untuk memboyongnya
ke Bandung. Keyakinan Banyu untuk membuka kedai kopi di Jogja semakin kuat,
agar ia bisa kembali berkumpul dengan ibunya sambil mengurus usahanya.
“Bu, dua ya paket lengkap. Minumnya teh
manis, pakai es, gulanya yang banyak. Teman saya butuh yang manis-manis, biar
hidupnya bukan sekadar memegang buku tanpa ada tulisan di dalamnya” ucap Bima,
sambil tertawa mengejek Banyu yang sedari tadi diam.
“Gulanya yang pas, saja bu” sanggah Banyu
sambil berjalan menuju kursi yang sudah di tempati Bima lebih dulu.
Melepas ransel “kamu tuh, nggak capek ?
semua tulisan bagusmu harus terbuang sia-sia. Setiap kalimat yang muncul tuh,
harusnya ditulis. Lagian, kenapa harus berhenti, sih ? Kalau sampai sekarang
kamu masih menulis, udah jadi novel atau buku puisi !!” ucap Bima dengan
sedikit kesal. Perkataannya selalu ia lontarkan pada Banyu, yang sudah berhenti
menulis sejak ia jadi mahasiswa.
“Mimpi saya bukan di situ lagi, buku ini
cuma sebagai pengingat, kalau saya dulu pernah mengisinya.”
“Tapi kan, itu buku kosong.”
“Kalau sudah penuh, pasti tidak akan saya
bawa-bawa.”
Seseorang datang mengantar makanan,
sekaligus menghentikan percakapan mereka.
“Cepat habisin, saya udah capek.”
Bima mengangguk sambil melahap makanan
yang ia rindukan.
Saat mereka berdua sedang menyantap
makanannya, sambil bergurau. Lelaki tinggi menggunakan jaket jeans menghampiri meja mereka.
“Ternyata benar, kalian. Gue nggak salah
liat” ia menarik kursi lalu duduk di sebelah Banyu.
Banyu dan Bima saling menatap, lalu
berpindah pandangan ke arah lelaki itu, sambil memerhatikan wajah lelaki yang
seolah mengenal mereka berdua.
“Kawaaaaaaa!! Ini benaran kamu, kan ?”
teriak Bima.
“Kok, bisa di sini ?” Banyu memeluk Kawa
diikuti Bima yang langsung beranjak dari tempat duduknya.
Mereka saling menutupi rasa harunya. Tiga
sekawan itu berbincang, tanpa bertanya sebuah kabar. Melupakan segudang rasa
penasaran yang Bima dan Banyu simpan selama ini. Sepanjang makan malam mereka,
di isi dengan perbincangan dan ingatan saat mereka masih bersama, dulu.
Hangat
rasanya, seperti mengisi lubang angin pada celah pintu. Menukar segala kosong
dengan padatnya kebersamaan. Tidak perlu mengingat hal pahit yang lalu, untuk
saat ini mari memberi kesan manis bersama. Tidak perlu ada ‘apa kabar’, sebab
sebuah temu sudah cukup mewakili bahwa ‘baik-baik saja’ adalah jawabannya.
Tiga sekawan sudah berkumpul kembali,
tanpa peduli berapa lama waktu yang sudah memisahkan mereka. Kawa masih sama
seperti dulu, gaya bicaranya seperti orang yang lama tinggal di ibu kota. Bima
yang pelupa tapi sangat humoris, gaya bicaranya bukan seperti orang jawa lagi
sekarang, kecuali ketika ia sedang berkumpul dengan keluarganya. Dan Banyu yang
juga tidak banyak berubah, ia masih sama seperti dulu tidak banyak bicara. Di
antara mereka bertiga, Banyu yang paling jarang bercerita soal apapun, ia lebih
sering menulis di buku miliknya. Saat sekolah, tiga lelaki ini banyak di sukai
oleh adik kelas, terutama Banyu. Sikapnya yang tenang, wajahnya yang tampan
juga tubuhnya yang tinggi seperti Kawa, tidak jarang menjadi incaran mata perempuan
di mana mereka berada. Pusatnya hanya pada Banyu dan Kawa, tapi yang sering
gonta-gani pacar Bima. Perhatian Bima, dan sifat humorisnya yang menjadi nilai
lebih dirinya.
“Tunggu-tunggu, udah tengah malam. Teman
gue pasti udah nunggu kelamaan” sambil melihat jam di telepon genggamnya, Kawa menghentikan
gurauan yang membuat mereka lupa dengan waktu.
Banyu dan Bima serentak melihat jam
tangannya masing-masing.
“Besok ?” tanya Bima, ia berusaha
mengajak Kawa untuk berkumpul lagi.
“Besok, gue mau jalan ke Malang, untuk
cari tempat kerja praktek. Kalian masih lama kan di sini ?” tanya Kawa dengan
penuh harapan.
“Kita sampai lusa, banyak yang nggak bisa
ditinggal lama-lama” Bima mendengus.
“Ke Jogja dalam rangka apa ?” pertanyaan
yang sebenarnya sudah ingin Kawa tanyakan sejak awal, tapi gurauan Bima yang
memang sering kali jadi pusat tertawa mereka membuatnya lupa dengan
pertanyaannya.
“Oh, ini kita..”
Tiba-tiba telepon genggam Kawa berdering,
kalimat Bima terpaksa harus ditunda.
Di seberang telepon, teman Kawa memintanya
untuk segera kembali. “Sorry, gue udah
disuruh balik nih, teman-teman gue lagi nunggu barang yang abis gue beli. Minta
nomor kalian deh, kita harus ketemu lagi” ucap Kawa seraya memberikan telepon
genggamnya.
Banyu dan Bima bergantian memasukan
kontak mereka. Perasaan mereka beberapa tahun lalu yang sudah terkubur muncul
ke permukaan. Perasaan saat perpisahan mereka sebelum Kawa ikut ayahnya ke
Bali. Kawa memeluk sahabatnya bergantian tanpa berkata apa-apa. Mereka saling
tahu, bahwa kata perpisahan akan membuat suaranya bergetar, dan membuat
bendungan dimatanya.
Banyu dan Bima turut ke luar mengantar
Kawa sampai tempat ia memarkir kendaraannya.
“Jangan lupa telepon aku” teriak Bima
pada Kawa yang sedang membuka pintu mobilnya.
“Iya, bawel lu!!” Kawa manaikkan alisnya memberi
kode pada Banyu yang sedari tadi tidak mengatakan apa-apa.
Kawa membuka kaca mobilnya “Ban, thank you before, cuma lo yang bisa
bantu gue. See you guys..!!”
“Eh, ada apa nih, bantu apa ? aku juga
bisa bantu kok, Kaw” dengan sangat penasaran dan kebingungan, Bima menoleh ke
arah Banyu, lalu menyikut lengan Banyu.
“Udah ya, jangan lupa berkabar” teriak
Kawa, meninggalkan rasa penasaran Bima dan berlalu.
Bima terus menyenggol Banyu dengan
pertanyaan yang sama berkali-kali “ada apa sih kamu sama Kawa, kalian bahas apa
yang aku nggak tahu ? kok dia nggak bilang makasih juga sama aku ? Ban, woy Ban
jawab.”
Banyu hanya tersenyum, dan tertawa geli
melihat Bima yang penasaran.
“Udah yuk, bayar dulu, terus pulang. Ibu
pasti udah nunggu, handphone-saya
mati.”
Mendengar kalimat Banyu, Bima teringat
sesuatu “ahhh, iya” dengan suara yang sedikit keras.
Sontak Banyu menoleh ke arah Bima “ada
apa ?” dengan suara sedikit cemas.
“Kita nggak minta nomor Kawa, gimana kita
mau kasih kabar sama dia.”
Banyu memukul kepalanya “kamu sih, sibuk
dengan guyonanmu. Hp saya kan mati
sejak di becak tadi. Ibu saja nggak saya kabarin. Sudah, nanti Kawa pasti kasih
kabar.”
“Bagus kalau dia kasih kabar. Kalau
hilang lagi, kayak sebelumnya gimana ?”
“Ya, kita datangi ke Jogja.”
“Memang kamu tahu, alamat dan nama
kampusnya ?”
“Mati” Banyu memukul kepalanya lagi,
berlalu meninggalkan Bima yang sedang membayar makanan.
***
Sudah satu minggu ia meninggalkan Jogja.
Meninggalkan ibunya yang masih tetap ingin tinggal di sana. Selama itu pula
Kawa tidak menelepon kedua sahabatnya. Selama
perjalanan pulang ke Bandung sampai saat ini, Bima tidak membicarakan soal
Kawa. Banyu dan Bima tidak bicara apapun tentangnya. Seakan mereka berdua sudah
tahu bahwa Kawa tidak akan menghubungi untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya
takdir mempertemukan mereka kembali.
Saat sedang bekerja di kedai kopi, dan
pengunjung tidak terlalu banyak. Banyu duduk di bawah pohon untuk beristirahat
sejenak, menggantikan Bima yang sudah istrirahat lebih dulu. Dari kejauhan, ia
melihat seorang perempuan berbadan kurus, dengan rambut sebahu. Wajahnya masih
belum terlihat jelas, tapi dari perawakannya Banyu seolah kenal dengan
perempuan itu. Baju berwarna hitam, dan celana jeans yang sobek di bagian lututnya membuat Banyu teringat
seseorang yang sempat ia lihat pada sebuah foto dalam dompet Kawa saat di Jogja.
Sebenarnya saat mereka masih sekolah,
mereka pernah singgah beberapa kali ke kediaman keluarga Kawa, tapi tidak
pernah bertemu secara langsung dengan adiknya. Reina disibukkan dengan berbagai
les yang diberikan ayahnya. Ketika adik Kawa pulang, ia langsung beristirahat
di kamarnya, dan menyetel musik jazz
atau folk. Sama seperti Kawa yang
menyukai genre musik yang lambat dan
mendayu-dayu. Begitu juga saat terakhir mereka bertemu, di acara kelulusan SMA,
adiknya memilih untuk diam di dalam mobil.
Mereka mampu melihat mata yang berbinar,
garis bibir yang melengkung juga wajah yang terlihat senang setiap Kawa
bercerita tentang adiknya. Seorang perempuan yang mampu memberi warna baru bagi
keluarganya. Keceriannya, gerakannya yang lincah sambil mendengarkan musik
adalah energi baru bagi keluarganya yang terlalu serius.
Sampai hari ini, Banyu tidak berhenti memikirkan
perbincangannya dengan Kawa di Jogja, saat Bima mencari toko untuk membeli
rokok. Saat itu Kawa banyak bercerita soal adiknya.
Selama ini Kawa menahan dirinya untuk
tidak membalas surel yang dikirim oleh adiknya. Ia takut adiknya akan semakin
sedih, dan juga ia akan sangat sedih jika adiknya akan terus bergantung pada
Kawa.
Sora Aldareina <sorasorai@gmail.com>
Dear Kakaku
Tersayang Gery Aikawa
Aku tahu, kakak
nggak akan balas pesan ini. Akupun tidak berharap banyak. Aku cuma mau
bercerita saja. Tadi sore, waktu aku sampai di rumah kebiasaan ibu kumat. Ibu
menangis sambil memegang figura putih, sesekali ibu melihat ke arah figura yang
ibu peluk. Ibu tersenyum, dengan air mata yang terus mengalir. Ibu membelai
foto kakak dan aku yang sedang berpelukan. Aku jadi ikutan nangis, seperti
biasa Bob Dylan menemaniku sepanjang malam. Untuk meredakan sedihku, sampai
perasaanku terganti dengan rasa capek karena berjalan kaki. Walaupun aku tahu,
minggu depan Ibu akan mengulang kebiasaannya. Kakak nggak usah khawatir, suatu
hari hal ini akan kami rindukan.
Aku kehilangan
duniaku, Kak. Setelah pusat alam rayaku pergi. Aku sendirian di sini. Tapi aku
tidak membutuhkan teman, ia tidak akan membuat ramai dalam kesepianku. Kalaupun
ada seseorang yang bisa menolongku dari masalah yang aku hadapi. Mungkin dia
bukan manusia, tapi malaikat yang menjelma jadi manusia.
Aku akan
disibukan dengan ujian kelulusan, dan ujian masuk perguruan tinggi. Aku belum
tahu akan ambil apa.
Nanti, kalau
sudah tidak sibuk dan ada kabar yang lebih baik, aku akan menemui Kakak lewat
pesan. Salam hangat.
Sora Aldareina, adikmu
terkeren.
Kawa memperlihatkan semua isi surelnya
pada Banyu. Setelah membaca isi pesan elektronik Sora Aldareina pada Kawa yang
terakhir. Tidak pernah sampai pada pemikirannya, ketika harus berpisah dengan
sahabat yang pernah membuat dirinya paling berarti, adalah kesedihan yang
mendalam. Sebab sebelumnya Banyu tidak pernah memiliki sahabat sedekat ia
dengan Bima dan Kawa. Tanpa sadar ia melupakan bahwa bukan hanya dirinya dan
Bima yang paling sedih, tapi ada seorang ibu dan adik perempuannya yang paling
tersiksa dengan perpindahannya ke kota lain.
Gue
cuma bisa minta tolong sama lo, Ban. Karena cuma lo yang bisa gue percaya untuk
jadi temannya Reina, syukur-syukur lo masih jomblo. Jadi nggak ada yang cemburu
kalau lo jalan sama adik gue. Kalau Bima, yang sering melucu itu, mungkin bisa
menghibur Reina, tapi nggak untuk menjaganya. Ya, lo lihat sendirilah berapa
kali barang dia hilang karena ketinggalan. Gue nggak mau adik gue ketinggalan
juga, hahaha, ucap Kawa sembari memperlihatkan foto Reina terbaru dalam
dompetnya kala itu.
Saat perempuan itu berada di bawah lampu
jalan, Banyu mampu mengingat wajahnya yang sama persis seperti dalam foto. Ya, itu Sora! Ia berlari ke dalam,
menyandang tas ranselnya. Meminta Bima untuk membuatkan dua kopi latte dingin. Lalu pergi mengikuti perempuan
yang ia lihat, tanpa peduli dengan Bima yang kebingungan. Sikap Banyu yang
tenang menjadi tergesa-gesa seperti memenangkan undian.
Setelah berlari dan mencari ke segala
arah, Banyu melihat punggung perempuan yang baru saja membuat napasnya
terengah-engah, kini Banyu berada tepat di belakangnya. Berjalan perlahan memerhatikan
perempuan yang sudah tidak asing lagi dari jarak beberapa meter. Sesekali Banyu
menahan tawanya, melihat tingkah perempuan mungil yang ada di depannya.
Berjingkat, menggoyangkan kepalanya, sesekali ia melompati beberapa batu kecil
yang menghalanginya. Banyu terus mengikutinya, dengan setumpuk rasa ingin tahu
kemana kakinya melangkah.
Banyu memutar tubuhnya, menyapu
sekeliling untuk melihat adakah orang lain selain dirinya yang turut
memerhatikan pergerakan Reina. Sebab, perempuan unik ? yang ada di depannya
sama sekali tidak peduli dengan sekitarnya. Ia terlalu fokus dengan musik di telinganya
juga gerakan aneh yang bisa membuat Banyu tertawa. Biasanya cuma lelucon Bima
yang bisa melengkungkan garis bibir Banyu. Namun, kali ini ada orang lain yang
membuatnya bisa tersenyum tanpa harus meluncurkan kalimat-kalimat lucu.
Banyu yang terkenal dengan julukan Mr.Cool menjadi incaran banyak wanita di
kampusnya. Tapi, tidak ada yang bisa menarik perhatiannya, bahkan untuk
tersenyum saja tidak. Ini pertama kalinya ia tersenyum, dan tertarik dengan
seorang perempuan. Mungkin karena Kawa, atau mungkin karena ia Reina. Perempuan
mungil yang cantik dan unik. Ya, unik karena selama ia mengenal beberapa teman
perempuannya tidak ada yang melakukan hal konyol, mungkin di kamarnya tapi
tidak di jalanan seperti Reina.
Saat tetesan hujan mulai turun, Banyu
masih tetap berada di belakang Reina yang tetap bergerak semaunya tanpa peduli
air turun dengan lambat. Hingga akhirnya ia mengikuti langkah kaki yang berada
didepannya semakin cepat, diikuti derasnya hujan. Ia berlari dengan
membungkukan tubuhnya, berusaha untuk melindungi dua cup kopi agar tidak terlalu basah, pikirnya. Sambil tetap menjaga
jaraknya, langkah itu membawanya ke sebuah kafe yang letaknya tidak terlalu
jauh dari tempat ia bekerja.
Banyu mengatur napasnya, lalu
memberanikan dirinya untuk menghampiri Reina yang sudah lebih dulu duduk. Detak
jantungnya tidak karuan, mungkin karena habis berlari atau mungkin karena
pertama kalinya ia mengikuti dan hendak menghampiri seorang perempuan. Banyu
berjalan perlahan, sambil mengelap cup
kopi yang sedikit basah dengan bajunya, ia sudah memerhatikan beberapa meja di
bagian luar kafe namun tidak melihat ada tisu di atas mejanya.
Berkali-kali ia mengatur napasnya,
mencoba untuk terlihat tenang lalu berdiri tepat di hadapan perempuan yang
sedang menunduk dan tidak menyadari kehadirannya.
***
Wajah perempuan
itu terlihat kelelahan dan bersedih, ia mengingat banyak hal yang Kawa
ceritakan tentang adiknya. Gumpalan besar dalam tenggorokannya membuat perasaanya
semakin tidak karuan. Berulang kali ia menggeser tangannya, ingin sekali meraih
tangan perempuan yang duduk sambil menunduk dan terlihat seperti menahan air
matanya yang terus keluar. Berulang kala ia mengurungkan niatnya. Maaf sudah membuatmu menangis, ucapnya
dalam hati.
Melihat seorang perempuan menangis adalah
hal paling berat baginya. Lebih baik tidak melihatnya daripada harus mencari
cara agar tangisnya reda. Begitu juga saat ia melihat ibunya menangis ketika
ayahnya meninggal, ia tidak berani untuk menghampiri ibunya. Berbeda dengan malam
ini, hal yang selalu ia hindari terjadi begitu saja membuat tubuhnya tidak bisa
bergerak kemanapun selain duduk di hadapannya.
Menangislah Sora, meski ini bukan malam
terakhirmu untuk menangis. Jadilah seperti langit sesuai dengan namamu,
tumpahkan saja jika harus hujan. Tidak perlu menahannya. Untuk esok, dan waktu
yang lain. Menangislah secukupnya, ucap Banyu
dalam hati seraya menenangkan dirinya di hadapan Reina yang sedang menangis
karena pembicaraannya tentang Kawa.
Tubuhnya mungkin terlihat tenang, namun
tidak dengan hatinya, di sisi lain Banyu merasa bersalah karena sudah
menceritakan tentang kakaknya, namun di sisi lain ia merasa lega karena sudah
menemukan Reina, sesuai keinginan Kawa. Banyu tidak tahu caranya membuat
seseorang untuk berhenti bersedih. Bukan karena ia senang melihat kesedihan
orang lain, tapi menurutnya kesedihan akan berhenti ketika sudah lepas dari
sesuatu yang membelenggunya.
Melihat Reina yang sudah terlihat tenang,
Banyu mengeluarkan sebuah buku warna putih dari ransel yang ia bawa.
“Saya, nggak ada tisu. Tapi saya punya
buku ini. Memang bukan untuk menghapus air matamu, tapi buku ini bisa menemani
air matamu. Buku ini selalu saya bawa, dulu saya suka menulis apapun yang saya
rasakan. Mungkin kamu seperti saya. Tidak suka bercerita, tapi menahan apa yang
dirasakan itu juga tidak akan membuat keadaan jadi membaik.” Banyu, menggeser
bukunya ke arah Reina, tepat di sebelah kopi yang ia berikan dan belum diminum
oleh Reina, “curahkan semuanya di sini. Saat kamu merasakan kehilangan, menulislah.
Apapun tulisannya, memang tidak bisa mengembalikan apa yang sudah hilang tapi bisa
mengisi yang kosong.”
Banyu mengambil kopi miliknya, membuka cup kopinya yang sudah tidak terlalu
dingin, dan memberikan kopinya kepada Reina. Kemudian mengambil kopi yang
berada di samping tangan Reina, lalu meminumnya.
Reina mengatur napasnya, “Kak Banyu,
makasih.”
“Untuk kopinya ? atau untuk bukunya ?”
“Makasih sudah bertemu Kak Kawa. Dia
pasti tambah tinggi dan tampan. Perempuan yang jadi pacarnya sekarang pasti
senang. Makasih juga untuk buku dan kopinya.”
“Sora..”
“Reina, panggil saja Reina.”
“Aku mau Sora.”
Reina terlihat kaget, dengan kalimat
terakhirnya.
“Aku mau panggil kamu Sora” Banyu
mengulang, yang sudah jadi kesalahpahaman Reina.
“Berkat kakak, aku lebih tenang sekarang.
Sebelumnya, aku selalu merasa kehadiran seseorang tidak akan membuatku jadi
lebih baik.”
“Itu karena kamu, Sora, bukan karena
saya. Kamu tahu sendiri, dari tadi saya diam. Saya nggak melakukan apapun untuk
kamu.”
“Justru karena kakak diam, saya jadi
lebih tenang.”
“Panggil saya Banyu.”
“Aku mau Biru.”
Banyu memiringkan kepalanya, melihat
Reina sambil tersenyum, mencoba menenangkan tubuhnya yang sejak tadi sudah
diambil alih oleh gerak detak jantungnya yang sangat cepat.
Reina meraih bukunya, jari telunjuknya
menunjuk ke arah tulisan yang ada di bagian cover
“di sini tertulis Biru, dengan tinta warna biru” Reina tersenyum pada Banyu
yang juga ikut tersenyum.
Banyu menceritakan tentang pertemuannya
dengan Kawa di Jogja, termasuk ia lupa meminta nomor telepon kakaknya. Banyu
juga menceritakan kisahnya saat mulai berteman dengan Kawa dan Bima. Tawa Reina
pecah saat Banyu turut bercerita kekonyalan sahabatnya yang membuat pertemanan
mereka lebih berwarna. Tanpa sadar, Banyu sudah banyak bicara dari biasanya.
Lelaki yang jarang sekali bercerita, kini mengambil alih tempat Bima yang
terlalu banyak bicara.
Mungkin cuma Reina yang tidak menyadari
perubahan Banyu, tapi Banyu paham betul bahwa Reina yang sudah membuatnya
banyak bercerita. Kali ini Banyu berharap kehadiran hujan bisa lebih lama.
Banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Reina, tentang mimpinya yang di paksa
berhenti, tentang mimpi lainnya yang tidak boleh berhenti juga tentang
keluarganya. Hal pribadi yang tidak pernah Banyu ceritakan, termasuk pada Bima.
Tapi, apa mungkin ceritanya akan berarti
untuk Reina ? Apakah Reina masih mau mendengar cerita pribadinya ? Apakah latte ini akan mempertemukannya lagi
dengan perempuan yang memiliki suara tawa yang menyenangkan ?
“Aku senang” ujar Reina dengan tiba-tiba.
“Karena ada seseorang datang kasih kopi
dari kembalian ?”
“Karena, orang itu Biru ?”
“Banyu”
Reina tertawa, “cukup aku yang panggil
nama kamu Biru. Ka Bima, jangan sampai tahu.”
Banyu tersenyum sambil mengangguk,
memberi isyarat tanda setuju dengan pernyataannya.
“Aku beneran senang, Biru.”
“Saya tenang.”
“Tenang karena aku udah nggak sedih lagi
?”
“Tenang, karena yang ada di hadapan saya
sekarang adalah Sora” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan “biasanya Bima.”
Reina tertawa “jadi penasaran sama Kak
Bima.”
“Jangan sampai.”
“Jangan sampai penasaran ?”
“Jangan sampai kamu sakit perut karena lihat
kebodohan dia.”
Mereka terhanyut dalam riuh suara hujan,
dan percakapannya yang semakin terasa hangat. Sebuah pertemuan yang terlihat
seperti kebetulan, namun seperti hadiah bagi mereka. Saling mangisi celah,
mengeluarkan warna baru dalam hidup mereka masing-masing.
Perbincangan yang hangat harus selesai, meski
mereka tidak menginginkannya. Namun, hujan sudah berhenti, “Saya antar kamu
pulang, ya. Ini wajib, kalau Kawa tahu saya biarkan adik perempuannya jalan
sendirian malam-malam, saya bakalan abis diomelin.”
“Emangnya kak Kawa suka ngomel ?”
“Ngomel kalau Bima balikin power bank dalam kondisi kosong.”
“Kalau itu, aku juga bisa ngomel.”
“Saya pesan taxi online dulu ya, boleh minta alamat rumahnya ?”
“Rumahku nggak jauh kok, lagian kalau
pesan kasian harus mutar-mutar.”
“Masih sanggup jalan ?”
“Iya, jalan aja. Malam-malam gini enaknya
emang jalan, sambil denger musik.”
“Bob
Dylan ?”
“Kok kakak bisa tahu ?”
“Banyu” membenarkan pernyataan Reina lalu
melanjutkan “karna Kawa kan ?”
“Biru!!” ia meninggikan suaranya, “aku
mau Biru bukan Banyu.”
Banyu berdiri dari tempat duduknya,
menunggu Reina yang sedang menggulung kabel earphone-nya.
Banyu mengambil buku yang sudah ia berikan ada Reina “ini biar saya yang
bawakan,” melihat Reina yang tidak membawa tas ia berniat untuk membantunya.
Mereka berjalan menyusuri langkah
sebelumnya. Sesekali Banyu tersenyum, mengingat gerakan Reina beberapa jam lalu.
Banyu melirik ke arah Reina yang berada di sampingnya, betapa kuatnya tubuh
mungil ini menopang segala resah dan gelisah. Rasa ingin melindunginya menerpa
pikiran Banyu, namun ia tidak tahu harus melakukan apa selain menemani
perjalanannya malam ini.
Tenang,
esok akan lebih baik lagi. Ombakmu mungkin sebesar badai, tapi kamu kuat
seperti karang yang tidak mengeluh karenanya. Bertahanlah, Sora.
“Tadi jalan
kaki juga ?” tanya Reina secara tiba-tiba.
Dengan perasaan kaget karena Reina yang
tiba-tiba bertanya di saat ia sedang memerhatikannya, Banyu langsung
mengalihkan pandangannya ke arah lain “tadi saya sedang ada urusan, jadi
motornya saya titipkan pada Bima. Dia chat
saya, katanya dia pulang duluan” dengan terpaksa ia harus berbohong pada Reina,
karena jika Reina tahu Banyu meninggalkan pekerjaan demi mengikutinya, Reina
akan merasa tidak enak. Banyu juga takut Bima tahu, yang membuatnya pergi
tergesa-gesa adalah karena adik dari sahabatnya.
Reina menoleh pada seorang pria jangkung
di sampingya, kepalanya hanya sampai pada bahunya. Mungkin kak Kawa setinggi
ini sekarang, pikirnya. Reina terus memerhatikan lelaki yang kini ada di
sebelahnya, menyusuri malam nyenyat membuat dirinya semakin tenang dan damai.
Biasanya Reina berjalan seorang diri untuk kembali pulang ke rumah, namun
sekarang ada Banyu. Kalau ia tidak ke luar dan meninggalkan ibunya, mungkin ia
tidak akan bertemu dengan Banyu dan merasakan ketenangan yang tidak pernah ia
rasakan sebelumnya.
Kehadiran Banyu baginya sebuah
ketenangan. Entahlah, mungkin karena ia teman Kawa atau karena Banyu seorang
lelaki yang bisa membuatnya merasa baik-baik saja. Reina terus memerhatikan
wajah Banyu yang sekarang lebih dekat dengannya, hidungnya, mukanya yang
bersih, bibirnya merah, apa dia pakai liptint
? ia menggelengkan kepalanya, ah Reina
kamu ngapain liatin Biru kaya gitu.
“Sora, masih jauh ?”
Reina menyadarkan dirinya dari lamunan
dan pandangannya, “Nggak kok, itu di ujung jalan sana.” Sambil menunjuk arah
rumahnya berada, jalanan panjang dan pepohonan di kiri dan kanan jalan mampu
memberi kehangatan dalam langkah kaki yang terasa dingin dan sejuk.
Selama perjalanan tidak ada lagi kalimat
yang keluar dari mulut mereka, seolah mereka berdua menikmati setiap langkah
kebersamaannya. Hari esok memang selalu jadi misteri termasuk esok dari hari
kemarin. Hari ini misteri sudah terpecahkan dengan pertemuan singkat namun
sangat bermakna bagi keduanya.
“Sudah sampai.” Reina menghentikan
langkah di depan pagar rumahnya.
“Saya langsung pulang” Sanggah Banyu,
saat Reina menunjuk ke arah rumah yang ada di belakangnya dengan ibu jari.
“Ah, iya. Sekali lagi terimakasih.”
“Sekali lagi, saya tenang.”
“Tenang ?”
“Tenang karena kamu sudah sampai di
rumah.” Banyu membungkukan tubuh jangkungnya, lalu mempersilakan Reina untuk
masuk lebih dulu.
“Saya masuk, sampai ketemu lagi” ucap
Reina, dengan perasaan aneh karena ucapannya yang terdengar seperti ia mau
bertemu lagi dengan Banyu. Ah, nggak apa-apa, toh dia teman kak Kawa, pikirannya terus berbicara hal yang tidak mungkin.
Banyu melangkah dengan perasaan lega
karena misinya sudah selesai. Ingatannya pada Bima dan pekerjaannya yang ia
tinggalkan begitu saja membuat langkahnya menjadi lebih cepat, mati.. bilang apa nanti sama Bima. Banyu
berlari, menyusuri jalanan yang akan menjadi sebuah sejarah baginya. Perasaanya
menjadi lebih senang sekarang, seperti bunga yang sedang berlomba bermekaran,
tanpa peduli dengan pikirannya yang kalut memikirkan alasannya pada Bima.
Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup
Banyu dan Reina hari ini, namun kehadiran Banyu pada Reina dan Reina pada Banyu,
mampu membuatnya untuk berjalan mundur lalu melangkah lagi dengan kondisi yang
lebih baik.
Comments
Post a Comment