BAB 3 SEBUAH PENCARIAN
“Reina
sudah bangun, Bi?” tanya seorang wanita yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah,
“di pasar ramai sekali, belum lagi ada kecelakaan motor tadi. Jalanan jadi
macet.” jelasnya seraya menaruh barang belanjaannya di dapur.
“Sudah Bu, tadi mbak Rein sempat tanya
Ibu. Dia buru-buru berangkat. Nggak sempat sarapan dulu, ospek terakhir katanya,”
jelas Bi Surti sambil mengaduk teh manis hangat untuk Ibu Anindita.
Sudah tiga bulan Reina menjadi seorang
mahasiswi Sastra, tepat seperti keinginannya. Kalau ditanya kenapa ia memilih
sastra, Reina akan menjawab, “ini sedang dicari tahu” jawabannya akan selalu
seperti itu. Padahal pilihannya pada sastra karena ia ingin belajar menulis
cerita dan yang mendekati pada keinginannya adalah Sastra.
Bukan soal kuliahnya saja, soal makanan
yang sering ia pesan atau soal kaos polos hitam yang sering ia gunakan. Orang
akan mengira jawabannya adalah sebuah lelucon, tapi bagi Reina jawaban yang keluar
dari mulutnya adalah jawaban yang sudah pas. Tidak bisa didebatkan. Sebab,
tidak ada yang pasti menurutnya, akan selalu ada perubahan. Ya, manusia memang
selalu berubah-ubah.
Sejak pertemuannya dengan Banyu, Reina
belum mengisi buku itu, ia bahkan tidak tahu harus memulai dengan tulisan yang
seperti apa. Malam itu sesampainya di rumah, Reina membuka lembaran buku yang
diberikan Banyu, dari banyaknya halaman yang kosong ia menemukan tulisan tangan
Banyu yang terlihat begitu rapih dengan tinta berwarna biru. Namun, Reina tidak
paham apa arti dari tulisan yang di tulis oleh lelaki yang hingga saat ini
tidak menemuinya lagi.
Selama ini beberapa kali Reina melakukan rutinitasnya,
di saat ritual ibunya berlangsung. Reina pergi ke luar rumah, berjalan
menyusuri jalanan yang biasanya ia lalui, namun tidak menemukan Banyu di sana,
termasuk di kafe yang saat itu mereka singgahi. Pernah, Reina masuk ke dalam
kafe itu mencari menu kopi latte yang
pernah ia minum, tetapi tidak ada menu yang dicarinya, hanya ada minuman yoghurt dengan berbagai varian rasa.
Berkali-kali ia bertanya pada dirinya
sendiri soal pertemuannya dengan Banyu, apakah sebuah mimpi yang hilang begitu
saja atau sebuah kenyataan untuk membangunkannya dari tidur yang panjang.
Baginya sosok Banyu adalah hadiah yang
hadir untuk memberikan sebuah ketenangan, di antara kegelisahannya dari masalah
yang sedang ia hadapi. Kepergian kakanya untuk ikut dengan seorang ayah yang
sudah menelantarkan seorang istri dan anak perempuannya, juga sahabat dan
mantan kekasihnya yang sudah mengkhianati dirinya. Semua masalah yang hadir sudah
membombardir kepercayaan seorang siswi SMA, saat itu. Reina terus mencari tahu
penyebabnya namun tidak pernah menemukan jawabannya, sebab semua hal yang ia
pikirkan tidak pernah ia sampaikan.
Mencari adalah sebuah kepastian yang
sudah ditetapkan dalam tubuh Reina sedari ia lahir ke bumi. Seperti seseorang
yang tidak pernah tahu arah dan tujuannya, isi kepalanya bergemuruh dengan
segudang kebingungan yang harus ditegakkan. Tubuhnya adalah tiang-tiang kokoh
untuk rasa ingin tahunya. Reina hanya punya itu untuk tetap mencari. Tapi juga
tidak tahu harus memulainya dengan cara apa.
Seperti pada malam itu, saat ia sedang
kabur dari hal yang sudah pasti. Reina mengubah takdirnya untuk tidak merasakan
hal itu. Kesedihan dan kesepian. Kedua hal tersebut sudah lama Reina
sembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri. Reina terus melakukan pencarian agar
tidak ditelan oleh takdirnya sendiri. Membuat tubuh kakunya untuk terus menari,
mencari jalan lain sebagai pengalihan. Melupakan bahwa hal itu akan tetap
tinggal jika tidak di keluarkan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan lelaki yang
sampai saat ini berbentuk khayalan yang nyata. Biru.
Pertemuannya dengan Banyu hanya sebatas
kebetulan, ya, mimpi yang kebetulan atau jalan yang dibentuk oleh semesta.
Meski masih menyimpan segudang pertanyaan dalam benaknya selama berbulan-bulan.
Kapan ia bertemu dengan kakaknya ? Kenapa bisa bertemu di kafe, yang bahkan itu
pertama kalinya Reina tahu tempat itu ? Kenapa tidak datang ke rumah, padahal
ia tahu rumah Reina ? Akan ada banyak kesempatan untuk mengulang, namun bagi
Reina kesempatan itu lahir dari sesuatu yang belum pernah kita coba. Yah, nanti juga lupa, pikirnya
mengalihkan. Maka pencarian terhadap sosok misterius itu, harus dihentikan.
Sampai semesta memberi rambu lain.
***
“Habis ini mau ke mana, Rein ?” tanya
Bada, teman baru Reina saat masuk kuliah.
“Pulang.”
“Hari ini kan ospek terakhir, Rein. Yakin,
langsung pulang ?”
“Hari terakhir ospek, bukan hari terakhir
ujian atau kuliah kan?” jawab Reina sambil membereskan barang, lalu berdiri
dari tempat duduknya. “Lusa, ada kuliah pagi juga kan ?”
“Lusa masih lama, Rein. Nggak ada
hubungannya sama hari ini pulang telat atau nggak. Lo nggak tertarik buat jalan
keliling kampus dulu ? Mumpung masih awal, Rein, cuaca Bandung juga lagi enak
nih, mendung.” Meregangkan tubuhnya sambil berjalan mengejar langkah Reina
“sebentar aja, masa hari sabtu anak gadis pulang awal,” seru Bada dengan suara
meledek.
“Pulang.”
“Rein...!!”
Reina menghentikan langkahnya saat berada
di luar Aula, tempat mahasiswa melaksanakan penutupan acara ospek. “Kalau kamu
masih betah buat di kampus, ya, kamu aja. Aku capek.”
“Dari
pagi kita cuma terima materi di dalam aula, nggak kayak ospek sebelumnya. Masa,
gitu doang capek sih, Rein.”
“Memangnya duduk doang nggak boleh capek
?”
Berdebat dengan Reina adalah sebuah
kesalahan bagi Bada. Meski baru mengenalnya beberapa bulan, Bada merasa sudah
mengenal Reina. Bada sudah tahu Reina tidak mudah untuk dirayu, kecuali hal itu
menarik baginya. Misalnya; mengajak Reina membaca buku di taman depan kampus,
sambil menunggu jam kuliah berikutnya. Mengajaknya makan es krim, walau dalam
waktu lima menit Reina bisa menghilangkan es krim di mulutnya. Setelahnya,
Reina akan meminta pulang dan Bada akan mencari alasan lain untuk menahannya.
Entahlah, saat bersama Reina banyak hal
yang sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bada akan menjadi pemerhati nomor
satu terutama saat melihat Reina makan eskrim, Bada rela es krim miliknya
mencair hanya karena tidak ingin kehabisan momen. Bada senang melihat Reina
makan, bukan hanya es krim tapi makanan yang lain. Lucu.
Bada sangat sadar Reina berbeda dengan
perempuan lain yang pernah ia kenal. Di saat mereka sibuk dengan penampilan dan
bergerombol membincangkan sesuatu yang menarik bagi mereka. Reina lebih senang
menggunakan kaos hitam polos, celana jeans,
earphone yang menggantung di telinganya dan lebih memilih untuk sendirian. Teman
satu angkatan sudah tahu akan kecantikan Reina, tapi bagi Bada, Reina bukan
sekadar cantik dan memiliki senyum yang manis. Ada hal lain yang dimilikinya
yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata, mungkin sikapnya, atau mungkin
muka masam Reina yang masih terlihat cantik ? Entahlah.
Memang sulit untuk menggambarkan
perempuan yang menurutnya berbeda, penuh rahasia. Bersama Reina adalah sebuah
kesenangan yang membingungkan bagi Bada.
“Makan dulu deh, gue yang teraktir. Ya,
ya, ya” usaha Bada untuk merayu Reina agar bisa berlama-lama dengannya,
“katanya capek, harus isi energi dulu. Biar kuat!!” Bada mengangkat tangannya membentuk
huruf U, dengan jari yang dikepalkan memperagakan binaragawan yang memamerkan
ototnya.
Reina tertawa melihat usaha Bada yang
sedari tadi merayunya agar tidak pulang “apaan sih, ototnya nggak ada,” sambil
berlalu dengan langkah tergesa-gesa “malu dilihat banyak orang.”
“Biar lo ketawa, gue emang harus selalu
jadi orang aneh, ya ?”
“Udah makan, pulang!!” Reina mengalihkan.
“Okay,
deal!!” ucap lelaki yang senang menggunakan baju oversize, tas selempang dan jaket jeans yang menggantung, dengan
rambut gondrong dan sedikit bergelombang. Emang
cocok jadi seniman, komentar Reina pada Bada kala itu.
Bada adalah orang yang pertama kali
mengajaknya untuk berkenalan, saat hari pertama ospek. Di saat semua orang
membicarakan soal kecantikan dan keramahan Reina, Bada satu-satunya lelaki yang
berani mengajaknya berkenalan dengan gaya slengeannya. Ya, gaya berpakaian Bada
memang jauh sekali dari kata rapih, tapi tidak juga terlihat menyeramkan dan
lusuh. Mungkin karena dia adalah Bada, ia berbeda dengan lelaki lain yang
senang menggunakan baju nge-pas atau kemeja. Jika kalian bertemu dengannya,
kalian tidak akan mencium bau keringat. Bada selalu wangi, kulit putihnya juga
tidak terlihat kering. Sepertinya Bada memang pandai merawat diri, tidak dengan
penampilannya.
“Soto betawi tanpa tomat ?” tanya Bada
yang sudah hapal dengan pesanan Reina.
“Kali ini, mau ayam jantan.”
“Rein ?”
“Kenapa, Bad ?”
“Rein !!” Bada paling sebal kalau Reina
sudah mengganggunya dengan sebutan ‘Bad’.
Memangnya aku Bad Boy, ucap Bada saat
itu. Memangnya mau dipanggil good boy
? tanya Reina balik, sambil menepuk-nepuk kepala Bada dengan sangat pelan. Guk..guk.., timpal Bada menirukan suara
hewan berkaki empat. Mereka berdua tertawa bersamaan.
“Iya, iyaaa maaf” ucap Reina dengan
ketawanya yang ia tahan dan menyambung “kamu makan apa ? aku ikut kamu deh.
Nggak tahu mau makan apa, bingung.”
“Kerjaan lo bingung terus” sahut Bada
sambil menggelengkan kepalanya. “Pak sate ayam dua porsi” ucapnya pada Bapak
penjual Sate yang sedang sibuk mengipas-ngipas arangnya. “Pakai longtong atau
nasi, Rein ?”
“Ba, disini nggak ada eskrim coklat apa
?”
Bada memutar badannya, melihat seluruh
isi kantin “mau es krim ? nanti mampir di mini market aja.”
“Nggak.”
“Kalau lontong mau ?”
“Kamu ?”
“Gue pakai, Rein, lo mau ?”
“Iya, mau.”
“Minumnya air putih, ya, Rein.”
“Kamu ?”
“Iya gue juga.”
Bada tidak berhenti tersenyum, saat ia
berhasil merayu perempuan yang kini duduk di hadapannya. Memang sesulit itu
baginya untuk dekat dengan Reina, Bada hanya berharap perempuan yang menurutnya
berbeda, bisa menjadi temannya. Setidaknya untuk sekarang.
“Segitu nggak maunya makan bareng gue”
ucap Bada ketika makanan yang sudah ada di atas meja, langsung dilahapnya.
Melihatnya yang tidak menggubris kalimat Bada, ia melanjutkan, “pelan-pelan,
kalau memang lapar harusnya tadi langsung pesan dua porsi.”
“Udah, buruan makan. Jangan liatin aku
terus” ucap Reina tidak jelas, karena mulutnya penuh dengan makanan yang sedang
ia kunyah.
Bada tidak bisa menyembunyikan rasa
senangnya, ia terus tersenyum dan memerhatikan Reina. Seperti anak kecil yang
terburu-buru makan, karena takut ditinggal ibunya pergi.
“Gue senang, Rein” katanya sambil
menggeser minuman, takut Reina tersedak.
“hemm” tidak peduli dengan kalimat Bada,
ia terus mengunyah tanpa membuat ruang mulutnya beristirahat sejenak.
“Lebih senang kalau bisa jadi teman lo.”
“Dulu, di Jakarta nggak punya teman ?”
“Itu, tandanya kita sudah jadi teman ?”
“Memangnya bukan ?”
“Memangnya bisa lebih, Rein ?”
Reina berhenti mengunyah, mengalihkan
pandangannya terhadap Bada. Reina mengambil botol air mineral, lalu meminumnya.
Anggap saja Bada bercanda dengan
ucapannya itu, ucapnya dalam hati.
“Lebih dari teman itu sahabat” Reina
menutup botol air mineral.
“Memangnya kalau bukan sahabat, ada hal
lain yang lo harapin, Rein ?”
Manusia memang tugasnya seperti itu,
mencari tahu semua hal yang menurutnya ambigu. Mencari sebuah jawaban yang
sebenarnya sudah jelas. Mungkin untuk tahu kebenaran yang menyakitkan, atau bahagia
yang kiasan. Dua hal yang bertolak belakang, namun sama-sama dicari. Dua hal
yang tidak bisa diterima, karena waktu yang sudah pasti selalu disangkal.
Kesakitan yang lama juga bahagia yang sebentar.
“Rein, nggak perlu di jawab kalau memang
sulit.”
“Jawabannya, lo harus cepat abisin
makanannya.”
“Pertanyaan gue, sesusah itu buat lo ?
Karena kita baru kenal ? karena kita baru jadi teman, terus nggak bisa lebih
dari itu ?”
Meski sudah tahu jawabannya, manusia
memang diciptakan untuk selalu bertanya. Entah untuk jawaban yang terdengar
tidak menyakitkan atau jawaban yang paling menyakitkan dan membuat berhenti
bertanya.
“Kalau kamu nunda waktu aku buat pulang
karena hal ini, karena isi kepala kamu yang aku nggak tahu maksudnya apa. Aku
nyesel, Ba, udah nerima ajakan kamu” dengan wajah yang biasanya terlihat ramah,
kini berubah ketus hanya karena rasa ingin tahu Bada.
“Rein, gue cuma melanjutkan pertanyaan
yang lo buat. Lo tinggal jawab aja, as
simple as that. Gue mungkin bisa berharap lebih dari lo, tapi kalau orang
yang gue harapkan ternyata nggak bisa memenuhi hal itu. Bukankah, seharusnya
gue terima ?” Bada menarik tangan Reina, yang hendak beranjak dari tempat
duduknya “Rein, gue cuma mau ngajak lo makan. Setelah ini, terserah lo mau ke mana.
Abisin dulu makanannya, please!!”
dengan nada rendah, karena tidak enak oleh mahasiswa lain yang sedang makan
siang.
“Makasih Rein” Bada tersenyum, saat Reina
kembali duduk dan melanjutkan makan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Makasih udah mau jadi teman gue, di
Jakarta gue nggak punya teman kayak lo. Yang unik, yang ramah, yang selalu
pakai kaos hitam, yang cuek sama penampilannya, yang nyebelin, keras kepala
lagi.”
Reina mengerutkan dahinya, menatap Bada
dengan mata sedikit tertutup.
“hahaha, bercandaaaa” lalu melanjutkan
“teman SMA gue dulu nggak banyak, Rein, cari yang tulus berteman itu susah.
Harus ada manfaatnya, makanya waktu gue ketemu sama lo, gue merasa aman.”
“Aman ?”
“Karena, lo nggak mungkin manfaatin gue,
paling gue yang manfaatin lo” jawab Bada sambil tertawa kecil untuk mencairkan
suasana.
“Emangnya, dulu kamu dimanfaatin ?” Reina
melihat keseluruhan penampilan Bada, yang
membuatnya tidak percaya. Memang
waktu dia SMA penampilannya nggak seaneh ini, pikirnya dengan tatapan yang
masih melekat pada Bada.
Bada mengalihkan pandangannya,
mengarahkan matanya dari bahu hingga sepatu yang ia gunakan. Mengikuti gerak
penglihatan Reina. “Heh” ia berusaha membuat perempuan yang sedang menahan tawa
itu kaget dengan suara beratnya.
“Dulu kan pakai seragam, nggak mungkin
pakai kaos dan celana jeans kayak
gini.”
Reina menunjuk ke arah kepala Bada dengan
rambut gelombang yang menutupi telinganya.
“Lo, tuh beneran ngeselin. Anak SMA, mana
ada yang gondrong kaya gini, panjang sedikit aja udah kena razia, dibotakin gak
jelas.”
Mereka
terhanyut dengan perbincangan lain, tanpa melanjutkan pembicaraannya yang
sempat membuat canggung suasana.
Melihat Reina yang selalu sendirian,
sejak awal Bada memang cuma berharap bisa dekat dan menjadi temannya. Namun,
semakin Bada berusaha untuk mendekatinya perasaan lain muncul, entah sejak
kapan Bada lebih sering tersenyum dan membuat Reina kesal. Entah sejak kapan
ingin jadi teman berubah menjadi ingin lebih dari itu.
“Reina, kamu kuliah di sini ? Aku senang,
kita satu kampus. Pencarianku selesai.”
Melihat seseorang yang menghampiri meja
Reina dan Bada, tatapan Reina seperti melihat hantu di siang bolong. Reina
beranjak dari tempat duduknya, “ayo! Ba. Udah selesai makannya ? Kita pulang
sekarang!!”
Melihat Reina yang tidak menggubris
seorang lelaki yang baru saja berbicara padanya, Bada tidak berkata apa-apa, ia
hanya bisa mengikuti perintah Reina.
“Rein, tunggu !! Plis, jangan kaya gini.
Banyak hal yang harus kita omongin. Rein..!!” teriak lelaki itu, sambil terus
mengikuti langkah Reina dan Bada.
Reina terus berjalan, seperti tidak ada seorang
lain yang sedang mengejarnya.
“Tolong, lepasin..” Reina menghentikan
langkahnya, lalu melepaskan genggaman tangan seorang lelaki yang menggunakan
topi hitam dan mempercepat langkahnya.
Bada memberi isyarat pada lelaki yang
membuatnya bertanya-tanya, agar ia tidak melakukan aksinya lagi. Lelaki itu
menghentikan langkahnya dengan tubuh yang terlihat cemas, raut wajahnya berubah
seperti seseorang yang tidak rela barang kesayangannya hancur terlindas truk.
Ini kali pertama Bada melihat mata Reina berkaca-kaca,
“Rein, tenang, dia udah nggak ngikutin kita. Gue anter pulang yah.” Bada
menarik tangan Reina, mengajaknya ke parkiran.
Reina tidak berkata apa-apa, tubuhnya yang lemas membiarkan jatuh ke dalam pelukan Bada. Tidak tahu dengan apa yang baru saja terjadi, Bada merasa kesal pada lelaki yang baru saja membuat Reina menangis hingga tidak bisa merasakan tubuhnya lagi.
Comments
Post a Comment