hujan, secangkir kopi dan kepergian senja

 

Namanya Herlan Firman tetapi aku lebih suka memanggil namanya dengan sebutan Laans, dia seseorang yang special. Bukan. Seseorang yang aneh, menyebalkan, cerdas, memiliki suara yang enak bila didengar, tapi rumit. Aku enggak bilang suara dia bagus ya, cuma kalau dia sudah mulai bercerita aku mau terus mendengar suaranya. Atau mungkin sebenarnya suara dia memang bagus. Enggak. Biasa saja. Lupakan soal suaranya. Jangan sampai ada yang tahu soal suaranya, biar cuma aku saja yang tahu tentang hal itu.

Aku enggak mau berbagi soal suaranya. Itu milikku. Enggak, itu kepemilkannya. Ya. Walaupun aku enggak mau berbagi keindahannya pada siapapun.

Ini tahun kedua aku dengannya melewati bulan Oktober bersama, meski aku tahu sebentar lagi dia akan menghilang dan entah sampai kapan ia akan kembali, aku akan tetap ada di sini untuknya atau bisa jadi aku berubah pikiran. Selama dua tahun aku mengenalnya, tapi juga tidak mengenal keseluruhan tentangnya. Pemikirannya yang rumit, membuat aku kesulitan untuk menebak semua yang ada dalam hidupnya.

Waktu pertama mengenalnya di suatu acara, dia yang menyapa duluan. Dia yang kenal aku duluan, ini perlu di garis bawahi. Biar tidak terkesan aku yang terus berharap padanya. Ya. Ini penting buat aku. Sejak saat itu, ia selalu hadir dalam hari-hari ku. Ia sering datang ke rumah, begitu pun dengan aku. Di manapun dia ada, dia selalu menyiapkan secangkir kopi untuk kita minum berdua.

    “kenapa cuma satu ?” Setiap kali aku bertanya itu padanya, dia selalu menjawab kenapa juga harus dua, kalau satu saja sudah cukup maka kita tidak perlu dua atau tiga. Sejak saat itu aku malas untuk selalu bertanya. Bahkan mbak di rumah sudah tahu ketika suara motornya terdengar, dia menyiapkan secangkir kopi dengan takaran yang entah sejak kapan mbak menghapalnya.

     Ada kebiasaanya yang paling tidak aku sukai, ketika dia sudah mulai menghilang.

Setiap hari kami bertemu, tapi ada waktu di mana ketika sudah mulai masuk bulan November, Maret, dan Agustus dia akan menghilang. Seperti disulap oleh seseorang, nomornya tidak pernah aktif. Pernah beberapa kali aku ke rumahnya, gordennya tertutup rapat, lampunya selalu mati di bagian dalam dan hanya lampu luar saja yang menyala. Seperti rumah kosong yang ditinggal penghuninya berlibur dalam waktu lama.

Kepergiannya tidak pernah diketahui oleh siapapun, termasuk satpam yang berjaga di depan kompleknya. Aku sempat berpikir, apa dia sebenarnya ada di dalam rumah selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Tapi siapa yang bisa bertahan dengan kondisi seperti itu. Aku pernah diam seharian di teras rumahnya, tempat biasa kami berdua duduk menunggu hadirnya senja, dan menikmati wangi air hujan. Aku tidak menemukannya saat dia pulang.

Dia tidak pernah tahu, bagaimana rasa khawatir yang selalu aku rasakan, bagaimana kondisinya ? Kemana dia pergi ? Dengan siapa ? Apa saat dia berada jauh dan bertemu seseorang dia tetap berbagi secangkir kopi atau enggak ? Tapi apa peduli aku tentangnya, dia tidak lebih penting dari guling lepek di kamarku.

 

*

Sore itu, aku dan laans sedang duduk di teras rumahnya, menyaksikan senja yang tak kunjung hadir, sebab awan mendung sudah mengambil alih perannya. Ia menyiapkan secangkir kopi untuk kami berdua. Ini aku siapkan untukmu kopi paling special, dengan 1sdt gula palem, juga 150 ml air penuh kehangatan.  Aku kesal, tapi tidak bisa. Senyumnya sudah terbagi di bibirku. Aku tersenyum.

        Dia menyimpan cangkir di sebelahnya, lalu ia duduk tepat di sampingku. Ini aneh. Karena biasanya secangkir kopi itu selalu berada di antara kami berdua. Kami duduk menghadap halaman rumahnya. Membelakangi dua kursi dan satu meja yang sama sekali tidak pernah kami gunakan untuk berbincang. Kami lebih sering duduk di lantai yang berupa tangga teras rumahnya.

Sosok misterius menyebalkan sekaligus menyenangkan. Sebagian dalam dirinya hadir untuk memberi rasa humor, sebagiannya lagi hadir untuk memberi kesan romantis yang tidak biasa. Tapi, bagian-bagian itu, enggak perlulah aku ceritakan. Cukup aku yang simpan sendirian.

     “Keana, apa yang kamu suka dari hujan hari ini ?” Rintik hujan turut hadir menyaksikan percakapan kami di teras rumahnya, suasana yang selalu kami tunggu. Hujan. Tidak ada alasan untuk berpisah, sebab hujan membantu kami untuk tinggal lebih lama, sampai hujan reda.

“Suaranya, laans. Mereka yang jatuh ke bumi seperti sedang melantunkan sebuah musik, entah ada perayaan apa. Mungkin perayaan kesedihan atas kehilangan atau perayaan senang karena pernah merasa kehilangan” Kataku, sambil meraih cangkir kopi yang ada di sebelahnya. Lalu memindahkan posisinya di sebelahku. Aku suka kopi buatannya. Tidak terlalu manis. Dia memang paling jago untuk urusan membuat kopi. Tapi tidak yang lain.

“eemmm, sebagian dari mereka yang sedang merayakan hujan hari ini, beberapa orang merayakannya dengan sebuah perandaian. Andai hujan segera reda, kembali cerah, lalu membenci hadirnya hujan. Dan beberapa lainnya berharap hujan turun dengan lambat, mampu menghentikan waktu untuk sekadar merasakan apa yang mereka rasakan” jawabnya dengan tatapan lembut. Ia suka sekali dengan hujan, sama sepertiku.

Aku mampu melihat matanya yang fokus pada titik hujan jatuh di sela-sela rumput halaman rumahnya. Beberapa kali aku mendengar hela napas panjangnya. Tunggu. Apakah hari ini, hari perpisahan kami untuk kesekian kalinya ? Matanya, matanya tidak berbinar lagi, ia terlihat sedang sedih. Ingin rasanya bertanya, ada apa ? kenapa ? tapi tidak, ia tidak sepenting itu untuk diberi pertanyaan.

“kalau kamu merasakan apa ?” Semua pertanyaan dalam isi kepalaku lenyap begitu saja, hanya pertanyaan ini yang akhirnya keluar dari mulutku. Bodoh sekali kamu Keana. Aku sering kali kesal, karena enggak pernah bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya inginku ungkapkan.

     Laans menoleh kearahku. Mata kami bertemu. Ia menarik napas panjang, lalu menundukan kepalanya sembari meraih tanganku. Genggamannya sangat kuat. Sore itu tidak seperti biasanya.

    “Keana, aku merasakan hangat... Juga dingin. Sebuah perasaan yang sulit, sebuah rasa senang juga takut, kalau rasa senang ini akan segera berakhir. Aku mau kamu, tapi kamu tidak di sini. Tubuhmu mungkin iya, tapi hatimu tidak. Setiap hujan turun, aku selalu berpikir. Aku harus mulai merelakan apa yang bukan jadi milikku. Tapi nyatanya aku tidak pernah siap, aku tidak pernah bisa menghentikan hujan, begitu juga dengan sebuah perpisahan. Entah esok hari, lusa nanti atau suatu hari yang tidak pernah aku tahu kedatangannya, hujan akan menangis deras mewakilkan perasaanku atas kepergian seseorang. Lalu aku mencoba menebak cuaca untuk esok harinya. Ku rasa sih, masih mendung, sebab pelangi juga butuh waktu untuk hadir”. Untuk seseorang yang irit ngomong, sepertinya, kali ini ia terlalu banyak bicara. Harusnya kamu enggak perlu basa basi laans, bilang saja kalau kamu mau pergi, bilang saja kalau kamu akan menghilang seperti biasanya. Harusnya kita enggak ketemu hari ini. Bukan. Harusnya sejak awal kita tidak pernah bertemu.

 

Saat itu, aku diam seribu bahasa. Selama dua tahun kebersamaan kami. Tidak pernah ada yang memulai cerita. Ia selalu berbicara keinginanya terhadapku, tapi ia tidak pernah bertanya apa jawabanku. Ia selalu menyangkal perasaanku terhadapnya, dia bilang “hatiku tidak pernah untuknya”.

Sementara aku selalu membiarkan pemikirannya yang menyebalkan itu, ya, karena aku tahu dia orang yang sangat rumit. Akupun begitu. Ia sibuk dengan pencariannya yang aku sendiri tidak pernah mengetahuinya. Ia sering berpergian semaunya, lalu tidak memberiku kabar. Setelahnya ia hadir kembali tanpa memberitakan perjalanannya. Sesulit itu aku untuk bilang, bahwa selama ini aku menantinya. Serumit itu aku mengenal sosoknya, bagaimana bisa aku turut bilang bahwa aku juga mau kamu laans, tapi tidak dengan kerumitan hidupmu yang juga tidak pernah kamu jelaskan, dengan semua rahasiamu. Siapa ? siapa yang bisa bertahan dengan seseorang penuh pertanyaan sepertimu.

    ”Laans, apa kamu tidak lelah dengan hidupmu ? semua yang kamu harapkan tidak akan pernah terwujud, jika hanya kamu simpan dalam isi kepalamu. Dua tahun laans, dua tahun aku mengenalmu, atau jangan-jangan aku selama ini hanya pura-pura mengenalmu. Bahkan ketika kamu pergi, ketika kamu hilang, aku tidak pernah tahu harus mencarimu ke mana. Aku sering bilang, untuk segala yang kamu rasakan, aku siap menampungnya. Apa sih yang sebenarnya kamu mau ?” Aku melepas genggaman tangannya, aku bergeser dari tempat dudukku yang jaraknya sangat dekat, bahkan baju kami saja saling bersentuhan.

Untuk melihat keseluruhan dia, aku butuh jarak. Biarkan jarak ini tetap untukku dengannya. Sebab kedekatan selalu membutakan segala tentangnya.

Ia mengangkat kepalanya, kembali menatapku dengan wajah serius “Aku mau kamu, Keana. Saat kamu di sini, itu sudah cukup” jawabnya, dengan suara yang sedikit parau.

Aku diam beberapa saat. Tenang Keana, jangan lihat matanya “Gimana kalau aku pergi, ketika kamu hilang tanpa menitipkan pesan apapun ? Gimana kalau nyatanya, saat kamu kembali ternyata aku enggak ada di bumi ini, laans ?”

Ia tertawa kecil, lalu menjawab pertanyaanku “Memangnya kamu akan pergi ke mana ? kamu tahu dunia ini berbahaya. Selama dua tahun na, selama itu kamu tetap ada di sini, untuk aku, untuk setiap hujan yang hadir, untuk senja yang hilang, untuk secangkir kopi special yang kubuat, dengan 1sdt gula palem, juga dengan ....”

Aku memotong pembicaraannya “Aku lagi ngomong serius laans. Hangatpun akan berubah dingin nantinya. Dua tahun bercandaanmu tentang secangkir kopi itu, enggak pernah berubah. Bosan tahu. Yang berbahaya itu kamu, bukan dunia. Yang berbahaya itu, yang sedang berkeliaran di dalam kepalamu. Ia bisa mengambil alih semua keadaan, tanpa mendengar ucapan lain. Ia selalu merasa baik-baik saja meski tidak, ia berusaha keras menampik semua realita yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sudah tau seberbahaya apa ?”

Kali ini aku kesal dengannya, kesal dengan sikapnya yang selalu menganggap remeh sesuatu hal yang serius, karena hal ini serius untukku. Kamu adalah hal yang paling serius dalam hidupku, tapi kamu enggak pernah tahu hal itu, atau mungkin kamu sudah tahu. Kalau, iya. Aktingmu, hebat!

Dia menggeser tempat duduknya, untuk lebih dekat denganku. Ia kembali meraih tanganku. Aku tahu ia akan melakukannya lagi. Karena ada beberapa bagian darinya yang bisa ku tebak, namun banyak bagiannya yang sulit aku cerna.

“Keana, takaran bahaya untukku, tergantung dengan kehadiranmu. Jika ingin menetap, jangan menetap sebagai tanda tanya, na. Tapi jadilah sebagai titik. Jernih di antara yang buram. Nyata di antara yang kusam. Perasaan itu seperti hujan, Keana. Ia hadir, tidak dengan maksud jahat. Keadaan dan waktulah yang membuat kita membenci kehadirannya. Kamu hanya membenci keadaan yang enggak tepat, saat aku hadir. Tapi aku bisa merasakan, kalau kamu menerimaku dengan baik”

Wajahnya mendekat kearahku. Aku menunduk, karena tidak mampu melihat matanya lagi. Tiba-tiba ia mencium keningku, lalu berusaha meyakinkanku “aku serius, Keana”

Aku diam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Kaget, senang, rasanya ada yang ingin memberontak dalam tubuhku.

Walaupun masih sangat kaget, aku berusaha sadar. Aku mengambil secangkir kopi dan meminumnya, lalu berusaha menjawab dengan tenang “kamu melupakan satu hal laans, ucapanmu itu seharusnya, aku yang bilang. Aku yang mengatakannya untukmu, bukan kamu. Jangan menetap di suatu tempat kalau waktu mu enggak pernah tepat” Kataku dengan gugup, suaraku bergetar. Sejujurnya aku masih tidak percaya dengan apa yang dia lakukan. Ini pertama kalinya, dan mungkin menjadi bagian terakhir yang akan selalu kuingat.

Dia tersenyum melihat reaksiku, “Keana, aku serius. Aku serius dengan ucapanku juga dengan yang aku lakukan padamu barusan. Na, maaf saja pasti enggak pernah cukup untuk membayar segala rindu dalam penantianmu. Akupun merasakan hal yang sama. Izinkan aku untuk membayar maafku bukan dengan ucapan, tapi dengan sebuah bukti. Kita cuma butuh waktu, untuk memulai cerita”

Seketika ekspresinya berubah menjadi serius, sementara aku masih merasa bingung dengan kejadian yang sama sekali enggak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menyebalkan. Ini gak adil. Dia bisa sesantai itu, sementara aku ? Aku tidak boleh goyah. Karena sampai kapanpun, aku tidak bisa mengerti tentangnya, mengerti soal keinginannya. Menghilang tanpa sebuah kabar dan penjelasan itu sudah cukup menggangguku selama dua tahun ini. Biarlah hari ini menjadi hari paling indah, hari yang besejarah, hari yang tidak bisa disesali. Biarkan hujan, secangkir kopi dan hilangnya senja menjadi sebuah fosil yang harus aku museumkan.

Kamu harus tahu bedanya pencarian dan penantian, Laans. Mereka yang mencari berhubungan dengan banyak hal, sementara penantian hanya fokus pada satu hal. Pencarian enggak akan ada habisnya, sementara penantian akan ada capeknya. Sekuat apapun aku, sepertinya dua tahun sudah sangat cukup laans, sudah sangat cukup untuk menyelam sedalam ini, sudah sangat cukup untuk kita pura-pura enggak tahu soal perasaan masing-masing, sudah sangat cukup untuk memaksakan diri terlihat baik-baik saja. Aku yang enggak pernah bisa mengerti maksudmu, juga kamu yang selalu ragu dalam pilihanmu.

Kamu seperti bulan yang tidak pernah purnama utuh, ada yang selalu di sembunyikan dan membiarkannya tampak separuh. Sementara aku senja yang tidak pernah bisa muncul di kala hujan.

Waktu tidak membutuhkanmu, tidak juga membutuhkan kita. Kita yang tahu kapan akan memulai atau mengabaikan.

   Mungkin semesta mempertemukan kita, tidak hanya untuk saling mendewasakan, tapi juga memberi tahu bahwa ada pekerjaan paling sulit setelah perpisahan, yaitu merelakan.

“Laans, terimakasih. Batas memang tidak kenal waktu, tapi waktuku ada batasnya. Aku tidak mau membiarkan semuanya mengendap dalam isi kepalaku, aku tidak mau endapan itu berupa pertanyaan yang tidak pernah terjawab olehmu. Biarkan hujan ini terus ada, tanpa harus ku tunggu kapan ia berhenti hanya untuk pulang dan kembali berpisah denganmu. Aku enggak akan pernah bilang selamat tinggal, tapi sampai nanti Laans, sampai bertemu lagi entah dengan kehidupan yang sama atau sudah beda. Aku pulang”

Aku berdiri, melepas genggamannya lalu berjalan di bawah derasnya hujan. Lelaki itu diam, masih terduduk dengan dua sudut matanya menahan yang tidak bisa ditahan lagi, air itu terjatuh pada raut wajahnya yang melepaskan kepergian seseorang. Ia bergandengan dengan hujan untuk melepas kepergian senja. Tidak ada lagi secangkir kopi, tidak ada lagi menunggu hujan reda, tidak ada lagi teras rumah dengan kecupan kenangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Hallo

langit malam