BAB 1 RUANG KOSONG
Beberapa bulan ini perjalanannya
menuju rumah sudah berbeda. Kondisi matahari sudah condong ke arah barat, suara
burung sudah semakin samar, hanya ada beberapa kupu-kupu yang melintas seolah
menemaninya berjalan kaki. Setiap harinya kira-kira ia harus berjalan sepanjang
satu kilometer dari tempat angkutan umum berhenti, sesekali perempuan mungil itu
mengeluh karena tidak ada angkutan umum yang melintas tepat di depan rumahnya,
tapi tidak apalah ucapnya lagi dalam hati, terkadang berjalan kaki sepanjang
jalan bisa memberinya sedikit waktu sebelum bertemu Ibu. Ya, jalan ini cukup
membantu untuk membolak-balikan mood-nya agar sesampainya di rumah ia tidak
perlu lagi memperlihatkan kesedihan dan kesulitan yang ia hadapi.
“Seandainya
sejak awal, sekolah memadatkan jadwalnya. Bukan hanya karena mendekati ujian
akhir saja siswa wajib untuk serius belajar, lagipula dengan begitu aku tidak
lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain. Coba bayangkan, semisal pukul
tujuh pagi siswa masuk sekolah, lalu pulang pukul tiga, lalu ada kegiatan
organisasi siswa setiap harinya hingga pukul lima sore, setelah itu seluruh
siswa akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Sesampainya di rumah, mereka
akan makan malam sambil berbincang dengan orang tua mereka tentang kegiatan
sekolah, kemudian rasa lelah sudah menunggu untuk disanjung dalam tidur yang
lelap. Tapi tolong, hentikan memberi tugas yang dikerjakan di rumah. Sebab
bagiku, rumah adalah ruang rehat paling nyaman dan sekolah adalah ruang belajar
yang memang difungsikan untuk itu. Tentu saja itu hal yang melintas di pikiranku
saat sedang berjalan kaki menuju rumah, semua orang tidak perlu setuju dengan
pemikiranku. Tapi, coba pikirkan lagi. Dengan kegiatan sekolah yang sangat
padat, mereka yang seusiaku dan memiliki keluarga yang sepertiku akan sangat
terbantu, juga orang tua yang memiliki seorang anak yang memiliki hobi bermain
akan berterimakasih pada seseorang yang membuat aturan seperti itu. Para orang
tua tidak perlu merasa cemas dan menelepon berkali-kali pada anaknya. Mereka
sudah tahu, anak mereka akan pulang dengan raut muka kelelahan dan hati yang
kesal karena tidak bisa bermain” batinnya saat di dalam angkutan umum.
Tentu
saja itu hanya pemikiran seorang gadis yang tidak menyukai banyaknya waktu
luang, pemikiran seorang anak remaja yang tidak mau bermain di luar seperti
anak lainnya. Juga, tentu saja itu pemikiran yang akan diprotes oleh banyak
siswa. Setiap hari ia selalu memiliki permikiran yang berbeda, kemarin tentang
bagaimana jika ia lahir lebih dulu dari kakaknya, apakah ia akan meninggalkan
adik dan ibunya, dua hari lalu tentang apakah jika ia menjadi burung ia harus
tetap mengudara tanpa pernah hinggap di ranting lalu tertembak ketapel seorang
anak lelaki yang sedang iseng karena baru memiliki keahlian baru, dan banyak
hal lainnya lagi.
Warna
jingga langit sudah terlihat dengan anggun, beberapa pohon terlihat daunnya
sudah menguning, pergerakannya tidak leluasa seperti ketakutan akan gugur lalu
tak memiliki nyawa untuk kembali pada ranting. Langkah kakinya semakin sempit,
ia berjalan sangat perlahan seolah tak mau segera sampai. Sore ini yang ia
pikirkan adalah bagaimana agar usianya tidak terus bertambah, atau lebih baik
jika ia bisa mengulang menjadi anak kecil, bermain dengan seorang kakak yang
sangat menyayanginya dan tidak pernah meninggalkannya dalam waktu yang cukup
lama. Tentu saja tidak bisa, ucapnya dalam hati. Ah, bagaimana dengan ibu?
Sebenarnya aku rindu pelukan ibu sepulang sekolah. Batin dan isi kepalanya
terus bersahutan, berbincang soal keinginan dan ingatan masalalu. Sampai
sudah, ia menghentikan langkah kakinya, membuka pintu pagar rumah yang
cukup lebar dan panjang. “Rumah ini terasa sangat luas, dan hampa.” Ia menarik
udara kuat-kuat berharap banyak pada udara yang masuk ke dalam tubuhnya akan
memberikan kesejukan.
Sungguh, ia berharap pelukan ibu
yang menyambutnya akan menghilangkan lelah dan rasa penat, bagai api pada bara
yang kena tetesan hujan. Namun harapan itu musnah seketika. Saat ia hendak
menyapa ibunya yang sedang duduk di atas tempat tidur sembari memegang figura
berwarna putih, dengan pipi yang sudah basah. Saat itu pula ia mengurungkan
niat untuk memanggil ibunya. Dengan sangat hati-hati ia menggeser pintunya yang
sudah terbuka satu kepalan tangan. Membalikkan tubuh mungilnya lalu berjalan
mengendap-endap, seperti anak kecil yang takut ketahuan ke luar rumah saat
sudah mandi sore.
Bi Surti yang sedari tadi sudah berada di
belakangnya, tidak berkata apapun. Ia sudah mengerti, ini bukan pertama
kalinya. Bi Surti pun tahu, di saat seperti ini ibunya tidak akan ke luar kamar
semalaman. Itu sebabnya, Bi Surti sudah menyiapkan makan malam untuk ibu yang
dibawanya.
Dengan langkah yang sangat hati-hati, ia
menaruh telunjuk di depan mulutnya yang berkerut-kerut pada Bi Surti yang
sedang berdiri dan memperhatikannya. Reina
pergi ke kamarnya sedikit tergesa dan langkah kaki yang berat, ia mengganti
seragamnya dengan pakaian lain, lalu kembali ke luar kamar. Bi Surti masih di
tempat yang sama, kali ini makanan yang ia bawa untuk ibu tidak lagi ada di
tangannya.
“Hati-hati, mbak Reina.”
Dengan suara pelan yang hampir tidak terdengar.
Reina mengangguk sambil tersenyum.
Setiap kali ritual ibunya dimulai, anak
bungsu perempuannya tidak berani menghampiri untuk sekadar memeluk atau menghapus
air matanya. Ibunya akan berpura-pura tidak ada apa-apa, itu sebabnya ia
memilih untuk ke luar rumah dan membiarkan ibunya melarutkan kesedihannya.
Dengan begitu, beliau akan merasa baik-baik saja, atau mungkin tidak sama
sekali.
Tidak ada yang bisa membuat hatinya
membaik, selain berjalan di antara pepohonan sore menuju malam hari. Mencium aroma
daun kering terbakar sinar matahari yang berserakan menutupi bagian jalan. Mendengarkan
musik tahun ’60-an milik Bob Dylan. Sepanjang
jalan
yang baru saja ia lalui sebelum melihat ibunya,
akan selalu membawa ingatan tentang seorang kakak lelaki, yang dulu selalu mengajaknya
untuk menikmati angin sore di jalanan ini, juga yang mengenalkan musik yang ia
dengar.
Oh, the time will come up...
When the winds will stop...
And the breeze will cease to be breathin'...
Like the stillness in the wind...
Entah sudah mengulang berapa kali lagu When the Ship Comes In menyumbat
telinganya dengan earphone yang ia
gunakan. Sesekali ia sedikit melompat, berjingkat sambil menggelengkan
kepalanya, mengangkat tangannya menirukan pesawat terbang, untuk menjaga
keseimbangan saat ia berjalan di bagian tepi trotoar.
Saat suara harmonika yang dimainkan oleh
penyanyi yang turut mempopulerkan genre
folk di tahun ’60-an, perempuan kurus
berambut coklat ini mengombinasikan lagu yang ia dengar dengan berjoget, lalu
mengusap matanya yang sudah membuat pandangannya terlihat kabur. Tapi air di
pelupuknya seperti tidak ada habisnya.
Seandainya
ada seorang teman yang bisa mengalihkan kesedihanku. Pikiran itu ia koreksi
lagi, sebab baginya seorang teman tidak akan membuat Kak Kawa, kakak
kesayangnnya akan kembali pulang ke rumah, seorang teman hanya akan menambah
masalah di hidupnya. Seorang teman tidak akan membuat kesepian yang sudah menjadi
pusat masalahnya selesai begitu saja, bukan? Ya, kecuali ia malaikat yang
menjelma jadi manusia. Pertanyaan yang ia buat selalu terjawab dengan
pemikirannya sendiri. Sebab, sudah bertahun-tahun ia merasakan kesepian meski
ia tinggal dengan Ibu Anindita, ibu kandungnya yang juga merasakan kesepian
meski ada anak perempuan satu-satunya di rumah. Namun, mereka tidak saling
memperlihatkan hal itu. Senyuman Ibu dan kecerian anak perempuannya hanya untuk
saling menjaga, bahwa mereka baik-baik saja meski Kak Kawa harus ikut dengan
ayahnya, sehari setelah sidang perceraian.
Sudah
satu jam ia mengalihkan kesedihannya dengan bersenandung. Warna jingga langit
sudah berganti warna lain yang lebih gelap. Berjalan tanpa tujuan, sembari
menunggu hatinya pulih. Menunggu ibunya kelelahan menangis, lalu tertidur.
Angin dingin membawanya pada sebuah ruang
kosong tanpa penghalang, hatinya dikuatkan dengan fondasi yang ia rangkai
sendiri. Suatu hari nanti ia akan memasang jendela dan pintu. Mungkin. Ya,
mungkin suatu hari nanti ruang itu akan membuatnya tenang.
Gerakan tubuhnya semakin lincah,
membuatnya tidak merasakan tetesan hujan yang turun dengan lambat. Hingga
akhirnya tetesan itu menjadi banyak dan turun lebih cepat. Segera ia menaikan tangan kanannya lima centi di atas kepalanya, seraya berlari
mencari tempat berteduh. Melupakan air matanya yang sudah tumpah, menyapu
segala lelah dan penat, membiarkan ingatannya tenggelam bersama lagu yang
sedari tadi masih terus berputar di telingannya. Langkah kaki yang tergesa-gesa
membawanya ke sebuah kafe. Memilih bagian luar sudah paling tepat, pikirnya. Di
bagian dalam terlalu ramai dan terang, beberapa orang sedang mengantre untuk memesan sekaligus membayar,
beberapa lainnya sedang menunggu pesanannya sambil duduk di sebuah kursi
panjang terbuat dari kayu. Suara perbincangan mereka tidak terlalu jelas, yang
sangat jelas tergambar adalah suasananya. Mereka seperti terpaksa untuk tetap
berbicara perihal hal lain yang tidak penting untuk dibicarakan, seperti harga
sepatu mahal, harga baju yang tidak sesuai dengan kualitas bahannya, harga
makanan yang sudah mereka olah dalam perut mereka tadi siang, juga tetang
seseorang yang sudah hilang atau ada tapi tak terasa nyata.
Kafenya biasa saja. Seperti kafe pada
umumnya. Meski Reina memilih tempat di bagian luar, namun tidak membuatnya
terkena hujan. Setiap meja yang berada di bagian luar miliki atap yang lebar
berbahan kain dan serat alami. Seperti gazebo
rumah makan sunda di Bandung, material kayu yang menjulang ke atas sebagai
penopang atap menyatu dengan meja. Bedanya tempat ini tidak ada lesehan, dan
pengunjung memesan langsung lalu menunggu pesanannya sendiri.
Reina tidak langsung masuk ke dalam untuk
memesan, ia tidak mau menjadi pusat perhatian pengunjung lain yang sudah ada
lebih dulu, lagipula
ia datang bukan untuk memesan melainkan untuk singgah karena hujan. Wajah yang terlihat lelah, rambut yang berantakan dan
sedikit menggumpal, juga baju yang lumayan basah meski tidak terlalu kelihatan
karena berwarna hitam
akan membuatnya malu dan menjadi pusat perhatian.
Dandananku
selalu lusuh, mungkin tidak jika aku bisa lebih baik dari ini. Mungkin juga
akan semakin lusuh karena aku selalu seperti ini. Batinnya sedang tak baik-baik saja.
Reina tahu apa yang ia rasakan kali ini, seakan langit akan menggulungnya dan
membuangnya lalu hujan akan reda.
Reina menarik kursi, lalu duduk dengan
tangan melipat di atas meja yang siap untuk menyangga kepalanya, matanya
terpejam dengan kepala menunduk. Reina tidak memperhatikan sekelilingnya, ia benar-benar tidak peduli
dengan itu. Suara hujan pun tidak sampai di telinganya, syukurlah tidak ada
seseorang pun yang berpapasan denganya kali ini. Itu saja yang ada di kepalanya.
Well it ain't
no use to sit and wonder why, babe...
Ifin' you don't
know by now...
Lagu Bob
Dylan masih menguasai playlist-nya
malam ini. Sebenarnya memang tidak ada lagu lain. Lagu ini benar, tidak seharusnya aku bertanya kenapa harus aku, kenapa
seperti ini, ‘kenapa’ yang ada harus aku simpan di ujung. Ujung yang tidak
pernah kelihatan, ujung paling ujung, ucap Reina dalam hati saat lagu Don’t Think Twice, It’s All Right menutupi suara hujan yang semakin deras.
Kakinya bergerak tak karuan,
mengikuti alunan lagu
walau tak seirama. Ia sudah mencoba untuk mengikuti ketukannya, tapi tidak berhasil.
Kakinya terus bergerak tak tentu, kadang melambat kadang lebih cepat, berhenti
sejenak lalu bergerak lagi.
Hidup baginya adalah misteri yang sulit untuk dipecahkan, sudah
seharusnya dibiarkan untuk menjadi sebuah misteri saja. Seorang
sahabat dan kekasihnya yang sudah mengkhianatinya, perceraian orang tua yang
tidak diketahui alasannya, juga tentang kakaknya yang harus ikut dengan seorang
ayah yang memilih untuk meninggalkan rumah, misteri yang akan terus mengitari pada poros kepalanya.
Hubungannya dengan seorang kakak yang
sangat dekat dengannya, sekarang sudah meregang. Ia tidak pernah tahu
kondisinya sekarang, bagaimana hidupnya, bahkan ia tidak tahu alasan kakaknya
tidak pernah membalas surel yang setiap hari minggu ia kirimkan. Ia
juga tidak pernah tahu mengapa sahabatnya menghancurkan kepercayaannya,
persahabatannya yang sudah terjalin selama dua tahun saat ia masuk SMA kini
sudah kandas bersama kisah cintanya. Semua yang tidak ia ketahui, membuatnya
tidak memiliki pilihan selain menjadikannya sebuah misteri yang tidak perlu diselesaikan.
Lamunan sebentar yang terasa sangat panjang sudah mengelabuinya malam
ini. Samar-samar terdengar suara lain yang
sudah mengganggu lamunannya. Suara ketukan seperti orang sedang memalu
sesuatu, tentu
lebih pelan, ini hanya sebuah perumpamaan. Reina
mengangkat kepalanya
dengan sangat lambat, matanya di hadapkan
dengan seorang lelaki yang sedang berdiri. Tubuhnya yang tinggi, membuat lelaki itu
harus sedikit menunduk di bawah atap gazebo
tempat Reina duduk dan berteduh.
Mata dengan mata bertemu tanpa saling menyapa,
lelaki itu menarik kursi tanpa meminta izin, memang terkesan keterlaluan jika manusia selalu
beranggapan haknya adalah keistimewaan yang dia miliki. Namun, sudah menjadi
hak lelaki itu untuk menarik kursi dan menentukan ingin duduk di mana.
“Sora...” dengan suara yang terdengar
berat lelaki itu memanggil nama yang sangat jarang ia dengar. “Latte” katanya lagi, yang kini sudah
duduk tegap satu meja dengan Reina. Ia menaruh dua cup minuman di atas meja, dengan wajah yang terlihat menutupi kelelahannya dengan sebuah senyuman.
Tergambar sangat jelas di wajahnya, ia seperti habis terjaga semalaman, matanya
sayu namun tetap enak untuk dilihat,
beberapa detik lalu lelaki itu menarik napasnya dalam, lalu
mengeluarkannya kembali dengan kelegaan, sambil
merapihkan rambut yang sedikit basah dan berantakan lelaki itu terus tersenyum.
Reina membisukan kebingungannya lalu menarik
kedua kabel earphone di
telinganya, lagu Bob Dylan masih
samar terdengar. Reina tidak berkata apapun, ia hanya merasa takut yang
diselimuti dengan banyak pertanyaan. Siapa
dia? perampok? manusia beneran atau…? nggak
mungkin, ini belum tengah malam, hantu masih di kandang ayam.
Lelaki itu tersenyum lebih lebar
melihat wajah Reina yang terlihat bingung dan ketakutan “Tenang,
saya manusia.” Ia
berusaha untuk menenangkan dan
mencairkan suasana yang terasa tegang, lalu melanjutkan kalimatnya, “saya beli
kopi ini, tapi mbaknya bilang nggak ada kembalian, jadi kembaliannya saya
belikan kopi satu lagi buat kamu, karena yang lain sudah punya. Mbaknya senang
karena nggak harus menukar uang kembalian, aku senang karena nggak harus
repotin mbaknya. Kamu juga harusnya senang, ada seseorang di depanmu yang kasih
kamu kopi di saat kamu capek karena lari cari tempat buat berteduh. Jadi simpan
pertanyaan yang ada di kepalamu, lalu minum kopinya. Nggak saya kasih racun kok”
lelaki misterius itu tidak memberi jeda untuk disangkal.
Sial,
kalau dia beneran manusia kenapa bisa baca pikiranku? Kalimat
yang tersirat di pikirannya tidak Reina sampaikan, sekarang ia hanya
perlu mengalihkan dengan pikirannya yang lain. Bagaimana caranya hujan berhenti
detik ini juga?
Lelaki itu masih menatap Reina tanpa merubah senyumannya. “Hujannya masih deras, bahaya kalau ke luar dari sini,
sekarang.” Sambil melihat ke arah lain, mengikuti gerakan Reina yang
juga membolak balikan badannya, untuk menyapu sekitar dengan penglihatannya.
“Mau buat orang senang?”
Reina diam, kali ini ia benar-benar
takut. Bahkan tidak sanggup untuk mendengarkan kalimat selanjutnya yang keluar dari
mulut lelaki misterius itu. Bagaimana tidak, sudah malam dan Bandung sedang
diguyur hujan deras, pikirannya
sedang kacau sementara di bagian luar pun hanya
dia dengan lelaki tidak jelas, sepi....-
Lelaki itu lagi-lagi memecahkan
lamunannya. “Kalau mau buat orang senang, terima pemberiannya. Nih...” Ia
menggeser kopinya lebih dekat dengan tangan Reina yang masih ia lipat di atas
meja. Sesekali lelaki itu tersenyum lebih lebar hingga giginya yang putih dan rapih terlihat, lalu terkekeh kecil dengan tangan menutupi mulutnya.
Seperti hendak menahannya, namun suara tawa yang tertahan itu masih sedikit
terdengar.
Segala rasa takut dan cemas berkumpul di
kepala Reina, memintanya untuk tetap diam atau kabur dalam hitungan ke tiga.
Berkali-kali pilihan itu muncul di pikirannya, jika memang lelaki itu berniat
jahat ia akan melakukan kejahatannya secara langsung tanpa bertele-tele bukan?
Meski pikirannya di penuhi rasa takut, namun tubuhnya menetapkan takdirnya untuk
diam di tempat.
“Saya nggak nyangka, bisa ketemu kamu.
Tiga tahun yang lalu, emmm, yang saya dengar kamu anaknya ceria, suka nari, suka
nyanyi. Ternyata setelah kamu jadi anak kelas tiga SMA, kamu bisa juga kelitan
sedih. Saya pikir, semakin kamu tumbuh, kamu akan tetap jadi Sora Aldareina
yang ceria, cantik, manis, gemas-....”
“Tunggu, kamu?” Reina memotong
pembicarannya
setelah mendengar nama lengkapnya disebut,
pikirannya dikacaukan oleh rasa curiganya. Reina memberanikan
dirinya untuk menyanggah, dengan wajah kebingungan,
“Saya Banyu, kamu Sora yang memiliki arti
langit dalam bahasa Jepang?”
Dengan terbata-bata Reina mencoba membuka
mulutnya lagi “Iya, aku tahu. Tapi....”
Banyu segera menjawab, “Tenang,
saya bukan malaikat yang menjelma jadi manusia buat bantu selesaikan semua
masalahmu.”
Reina menatap lelaki itu dengan penuh
kecurigaan, kalau bukan malaikat, bukan juga hantu, dia pasti paranormal? Reina
menyipitkan matanya, mencoba melihat lagi dengan jelas wajah lelaki itu. Dengan
dahi yang berkerut, ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Semesta aku mau hilang sekarang juga!!
Tolong beri aku kekuatan super, ucapnya dalam hati lalu mengubah
posisi tangannya; menyatukan kedua tangannya dengan jari yang berdiri tegak,
menaruhnya tepat di depan hidungnya. Seperti seseorang yang sedang memohon
ampun.
Lelaki itu membenarkan posisi duduknya, “Sora,
saya Banyu.” Ia mengulang menyebutkan namanya berharap perempuan yang ada
di depannya mengingat nama itu, lalu melanjutkan, “Saya cuma mau
bilang, kakakmu baik-baik saja, sekarang Kawa kuliah di Jogja. Saya bukan makhluk
luar angkasa,
kata Kawa kamu takut dengan makhluk luar angkasa yang belum diketahui
kebenarannya, jadi tidak perlu takut. Saya
sahabat Kawa sejak SMP, kalau tidak salah saat itu kamu masih SD. Dulu, waktu
rumahmu masih di Jogja, saya pernah beberapa kali main di sana. Terakhir saya
ke rumahmu dan Kawa tiga tahun lalu, bersama dengan Bima sahabat kami yang lain.
Kamu sudah SMP kelas tiga. Saya lihat kamu dari kejauhan, masih sama seperti
yang saya dengar. Kamu ceria. Kawa selalu bilang, kalau dia sangat sayang sama
adiknya, dia juga bilang kalau adik perempuannya mengajarkan dia dan keluarga tentang rasa senang.”
Dari caranya berbicara dan suaranya yang
terdengar tenang, mungkin dia lelaki yang baik. Tapi, bukankah
suara tidak bisa menjadi patokan bahwa seseorang itu baik atau buruk. Reina
mencoba menenangkan pikirannya. Mencoba mencerna cerita yang ia dengar soal kak
Kawa, yang membuatnya bersedih dan pergi meninggalkan seorang ibu di rumah
dalam kondisi menangisi sebuah foto.
Reina menunduk, ia tidak mengatakan
apa-apa. Reina tidak tahu harus bicara apa, seolah kosa kata yang ia miliki meninggalkannya
begitu saja, selain menahan air di pelupuknya
yang sudah hampir tumpah. Ia tidak lagi memiliki tenaga untuk memikirkan hal
lain, termasuk dari mana datangnya makhluk asing yang sekarang sedang menonton
kisah ironi seorang perempuan secara langsung.
Reina yang selalu menyembunyikan rasa
sedihnya, dan membuat sebuah benteng pertahanan untuk terlihat baik-baik saja,
terutama di depan ibunya. Kini sudah hancur, ya, benteng itu sudah porak
poranda. Sebuah pertahanan yang sudah ia bangun selama dua tahun, setelah kak
Kawa dan ayahnya pergi, sudah menjadi puing-puing berserakan di depan lelaki
asing yang mengaku sebagai sahabat kakaknya. Dalam tangis yang tertahan, ia juga harus menahan rasa bingung juga perasaan lainnya yang tidak ia ketahui, ia mencoba mengingat cerita kakaknya, dulu. Kawa pernah
bercerita tentang dua sahabat terdekatnya, tapi saat itu Reina tidak
memedulikan perkataan kakanya, bahkan ia lupa nama kedua sahabat kakaknya.
Mungkin karena saat itu dirinya masih kecil dan belum terlalu peduli dengan
cerita dari Kawa.
Reina kembali mengangkat kepala dengan
mata yang sudah sedikit
basah, tetapannya pada lelaki itu
seperti memberi isyarat, apakah benar yang diucapkannya? atau ia haya mengada-ada
soal Kawa.
“Percayalah, kalau Kawa akan baik-baik
saja di manapun ia berada sekarang, juga percayalah kalau rasa sayang sama
adiknya masih sama. Kawa memang sudah jauh, susah ditemui. Tapi doa akan
membuat kalian dekat, akan membuat Kawa, saya dan Bima dekat. Suatu saat pasti
kalian akan bertemu, saya nggak tahu pasti. Tapi semesta nggak mungkin
membuatnya jadi mustahil.” Dengan senyuman yang masih sama, pesan isyarat
itu sampai padanya. Seperti seseorang yang memiliki ilmu membaca pikiran, lelaki
itu menjawab seluruh kebingungan Reina.
Reina sudah berusaha keras menutupi kesedihannya, air matanya
sebentar mereda, sebentar menetes lagi. Reina selalu lemah jika sudah mendengar nama Kawa, ia tidak mampu mengatur emosinya.
Bahkan, kalimat yang baru saja terdengar membuat ia tidak bisa merasakan kuat
tubuhnya untuk bisa duduk dengan kokoh. Untuk kesekian kalinya Reina
menjatuhkan kepalanya di atas tangannya, menunduk menatap sepatunya yang sudah
tidak terlihat warna aslinya. Gelap, semakin gelap dan buram. Sepelik inikah kisahnya, sememalukan
ini kah dirinya di hadapan seseorang yang beberapa menit lalu menyapanya dengan
nama yang jarang terdengar olehnya, kecuali saat guru sedang mengabsen seluruh
murid dalam kelas. Suasananya semakin tenggelam dalam kebisingan isi kepalanya,
musik dalam playlist-nya masih terus berputar, gerakan kakinya sudah
berhenti sejak suara ketukan yang ia dengar, bajunya yang basah seperti sudah
mengering, ia tidak lagi merasakan dingin di tubuhnya. Air hujan masih terus
turun tanpa mengurangi intensitasnya, sepatunya basah terkena cipratan air hujan,
bau tanah yang terkena air semakin tercium. Ingatanya tentang ibu sudah hilang,
ia juga melupakan bagaimana perasaannya saat meninggalkan rumah,
Lelaki itu membiarkan Reina untuk
menangis. Sebab baginya, kesedihan itu tidak perlu disanggah. Kesedihan hanya
perlu untuk diterima. Biarkan Reina merasakannya, hingga terasa sakit, sangat
sakit, lalu menggumpal di bagian dadanya. Maka perlahan kesedihan itu akan naik
melalui kerongkongan, pangkal lidah, lalu ke luar dengan suara tangis yang terdengar
semakin keras. Biarkan seperti itu, maka ia akan terasa lega. Menahannya tidak
membuatmu, selalu baik.
Percayalah.
Tangis Reina semakin terdengar,
berkolaborasi dengan suara hujan yang sedari tadi belum mereda. Kak Kawa, aku rindu. Kak Kawa benar, nggak
semua orang bisa membantu masalahku, benar juga bahwa terkadang kita
membutuhkan seseorang bukan untuk menolong segala kesulitan. Tapi untuk merasa
tenang. Aku nggak sendirian. Lelaki yang ada di depanku memang bukan malaikat,
Kak. Ia manusia asing yang entah muncul dari bumi bagian mana. Ia diam saat aku
menangis sekarang, ia tidak banyak bicara. Tapi itu sudah cukup. Ia
menggantikan kakak, setidaknya untuk malam ini. Besok ia akan menghilang,
bukan? setidaknya untuk saat ini, aku nggak sendirian.
Isi kepala dan hatinya kini
bersahut-sahutan, terkadang menenangkan dan terkadang membuatnya semakin
gelisah. Semua ketakutannya, terlupakan oleh tangis dan rindu yang selama ini
ia tahan. Musik yang sedari tadi menyala ia abaikan, entah lagu apa yang sedang
diputar. Angin yang semakin kencang, hujan yang belum mereda menambah emosi
perasaannya. Ya, tidak apa-apa. Meski takut dilihat pengunjung lain, namun hal
itu masih diabaikan. Sebab, yang sudah pasti malam ini ia tidak lagi sendirian.
Kesepian yang selalu bersembunyi di balik
sebuah kecerian, adalah kesepian paling sepi yang sangat mudah didapatkan.
Mereka harus tahu, bahwa kesepian terjadi bukan saat sendirian. Tapi di saat
ramai tetap merasa sendirian. Ketika sebuah ruang tidak bisa diisi oleh siapapun,
kecuali dirinya sendiri. Bisa jadi, sepi paling sepi adalah ketika memilih
untuk terus berada di sana, tanpa memperbolehkan orang lain masuk mengisinya.
Adalah hidup, jika harus menahan kesepian.
Dan untuk pertama kalinya, rasa sedih itu
menembus sebuah benteng pertahanan. Mengalir membawa resah dan rasa sakit yang
sudah lama disembunyikan. Merajai tubuh mungilnya, tanpa mau tahu siapa yang
ada di hadapannya.
Comments
Post a Comment