tidakkah cinta diciptakan untuk sebuah kepemilikan
Suatu hari, jika aku harus menikah dan bukan
denganmu. Sementara cinta yang aku miliki sebatas aku dan kamu, aku akan
membuat sebuah tatto dengan spidol hitam pekat yang sulit dihapus jika terkena
air. Bila air mampu membuat namamu samar, akan aku buat ulang agar tetap
terlihat jelas dan tegas, bahwa namamulah yang aku butuhkan meski kita tidak
bisa bersama lagi.
“hahaha, kamu bercanda. Memangnya kamu nggak sayang dengan kulitmu, ia akan menghitamkan bagian-bagian yang seharusnya tidak terkena tinta”, kamu tertawa sambil menggelengkan kepalamu.
Aku serius, Adit. Aku tidak pernah sebercanda itu. Jika itu bersangkutan denganmu. Karena cintaku tidak pernah bercanda. Mungkin kalimatku barusan membuatmu tidak yakin dengan hal itu, tapi percayalah hanya itu yang bisa aku lakukan jika suatu hari nanti aku harus dengan terpaksa menikah dengan lelaki lain. Aku akan mengukir namamu di bagian dada, agar dia tahu bahwa malam pertama yang dia impikan tidak akan pernah terjadi. Dia akan menangis melihat namamu di dadaku, dan aku merasa senang karena kamu sudah menyelamatkanku dari sebuah pernikahan dan kehidupan selanjutnya. Kamu harus percaya itu, Adit.
Meski berat, aku tidak pernah tega kepadamu, Adit.
“aku percaya padamu, Dina. Sebab tidak ada lagi yang harus aku percaya selain dirimu. Tapi jika harus melakukan hal itu, apakah kamu tidak merasa kejam dengan pasanganmu itu ? Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Dina. Bahkan bola kristal yang selalu disanjung oleh peramal tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi padanya. Sementara sebuah benda itu terus memberitakan sebuah rancangan dan kemustahilan akan hidup seseorang” Adit membuatku berpikir, ya, sudah ku duga ia tidak akan menikahiku.
Betapun pahitnya hidup di sebuah keluarga kaya yang
selalu menjodohkan anaknya dengan seorang anak dari pengusaha lain, akan aku
tanggung, Adit. Aku hanya ingin lepas dari keinginanku untuk mencintaimu. Aku ingin
mencintai diriku sendiri. Selama dua tahun aku sudah mencobanya, namun jika aku
melihatmu, aku selalu gagal untuk berhenti mencintaimu. Aku gagal untuk tidak
mencintai seorang lelaki yang hidup sebatangkara di tanah rantau. Aku gagal
untuk berhenti peduli pada rasa sedihmu. Aku gagal untuk tidak merasa bebas dan
senang saat bersamamu. Aku gagal untuk tetap jadi seorang perempuan yang
pendiam saat ada di dekatmu. Kamu mengagalkan semuanya. Kamu menggagalkan
pikiranku, saat aku berpikir bahwa cinta yang tulus tidak pernah ada.
Kamu membuktikan bahwa semua hal yang aku anggap
gagal sudah menjadi nyata, yang tidak mungkin bagiku menjadi mungkin.
Seharusnya aku tidak salah, dan kamu harus berhenti
untuk mengatakan tidak mungkin jika aku akan membuat tatto itu, Adit.
Aku benci harus menjadi saksi perjuanganmu untuk tetap hidup, melihatmu berulang kala yang berulang kali mencoba untuk merakit semangatmu yang sudah berantakan. Aku tahu itu tidak mudah untukmu. Meski kamu selalu bilang, bahwa menjadi diriku adalah sebuah anugrah. Tapi tidak untukku jika tidak memiliki kebebasan. Kebebasan untuk mencintaimu, Adit.
“Kamu tidak akan menikahiku ?” ini pertanyaan yang, entahlah sudah berapa kali aku lontarkan kepadanya. Meski jawabanya selalu sama, aku harap kali ini akan berbeda. Ya, seharusnya dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan dengan jawabannya, karena aku sudah memberinya sebuah keputusan di awal perbincangan ini.
Aku mencintamu, Dina. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika aku harus kehilanganmu, tidak pernah ada bayangan jika aku harus hidup tanpamu. Aku seyakin itu padamu. Aku selalu yakin dengan perasaan yang aku punya, sejak awal kita bertemu. Sejak itu pula aku sudah menaruh sebuah janji pada sebuah ketulusanmu.
Aku kira, kamu berbeda dengan wanita lain. Wanita yang
menjadi kekasih teman-temanku, wanita yang selalu menuntutnya untuk segera
menikahinya. Aku mengira selama ini kamu paham tentangku. Bagaimana bisa aku
berjuang untukmu, sementara aku masih sering gagal untuk diriku sendiri.
Jangan menangis, Dina. Ini pertama kalinya kamu menangis karena aku. Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri, bahkan semesta akan kecewa karena sudah mempertemukan aku dan kamu. Yang sudah sangat jelas, bahwa semesta kita berbeda. Bahwa ujung dari rasa cinta yang kita miliki bukan untuk kepemilikan, tapi melepaskan.
@rianaevelina
_tugasakhirsora
Comments
Post a Comment